Penulis: Riska Aprilia P.
Sumber gambar: google
Tiit tiit tiit...
Suara alarm membangunkan tidur nyenyakku. Barisan angka 07.00
tercetak di layar display alarm kesayanganku. Kuraih benda berbentuk
kubus itu, ku tekan tombol kecil yang menyebabkan bunyi memekakkan itu
berhenti. Huft... apakah harus bangun, malas sekali rasanya. Kasur ini
empuk sekali membuatku enggan untuk beranjak darinya. Maklum hari ini adalah
hari pertama aku terbangun dari kamar apartemenku. Yeah, aku baru pulang
dari rumah sakit setelah setahun lebih dirawat di sana, itu jika kalian ingin
tahu.
Oke! kuputuskan untuk beranjak dari benda nyaman ini. Aku harus
mencari kerja. Gila saja, mau makan apa aku jika tidak bekerja? Satu lagi
kuberitahu, berada dirumah sakit membuatku harus resign dari tempat kerjaku yang dulu. Jadi mau tidak mau, hari ini aku harus memasang umpan, memancing
perusahaan agar mau menerimaku bekerja.
Tidak ada yang berbeda dari kota ini, itu yang ada di kepalaku saat
berjalan menyusuri trotoar, menatap gedung-gedung dan para penjaja yang sedang
menjajakan dagangannya. Masih sama seperti setahun yang lalu, bising, ramai,
dan panas. Inilah yang orang sebut sebagai kota metropolitan.
Hampir seharian aku bertapak kesana-kemari, tetapi nihil yang
kudapat. Sebenarnya, Apasih yang para perekrut kerja itu cari? aku tak mengerti mengapa
seluruh lamaran kerjaku di tolak. Benar-benar memuakkan! Kuputuskan untuk
mengakhiri acara ‘cari kerja’ ku. Layar pada benda persegi yang terpasang di pergelangan
tanganku menunjukkan pukul 22.00. Untuk mencapai apartemen, aku harus menaiki busway
ke arah selatan. Sebenarnya ini sedikit boros dari berjalan kaki, mau bagaimana
lagi aku sudah kepalang lelah. Lagian ini sudah malam. Jadi apa aku bila jalan
sendirian malam-malam. Toh, aku masih memiliki cukup tabungan untuk sekedar naik
busway. Kusenderkan tubuhku di kursi penumpang. Untung saja kali ini keadaan angkutan umum ini cukup sepi, jadi aku tidak perlu khawatir untuk berdiri. Sepi
sekali.
Plak!
Suara tamparan keras itu tiba-tiba menyadarkanku yang hampir tertidur.
“Aku kan sudah bilang turuti saja kemauanku, kenapa susah sekali, sih!”
Plak!
Aku menoleh sekeliling, lalu aku melihat seorang pria sedang menampar wajah seorang gadis di depannya. Mereka berada di ujung lorong yang bersebrangan denganku. Gadis itu menangis sambil mengatakan permohonan maaf pada si pria dengan terbata-bata.
“Tapi, aku benar-benar tidak punya uang, sayang. Aku sudah tidak bisa
memberimu lagi.” Dari bagaiamana perempuan itu memberi panggilan, aku tebak mereka sepasang kekasih.
“Hah! alasan saja, dasar j*l*ng!” Pria itu hendak kembali menampar gadis itu. Buru-buru, aku segera berdiri mencoba menghalanginya.
Aku segera menyela supaya pria itu tidak menyakiti gadis tersebut kembali. “Cukup! Dia seorang wanita, ini memang bukan urusanku, tapi bisakah
anda bersikap lembut dengan seorang wanita!" Sungguh, di busway ini hanya ada kita bertiga. Aku
merutuk dalam hati, mengapa di situasi genting seperti ini malah tidak ada
orang sama sekali. Bisa saja pria temperamental di depan ku ini menghabisiku
karena dianggap mengganggu urusannya.
“Ini bukan urusan anda nona, pergi atau kau akan menyesal!” Pria
itu berteriak nyalang di hadapanku.
“Tidak! Sebelum kau melepaskan wanita ini!” Entah keberanian dari
mana aku mengatakan itu. Aku tiba-tiba menjadi sok pahlawan yang hendak menyelamatkan
korban. Kejadian ini persis seperti yang sering kulihat dalam adegan Film, bedanya kali ini nyata. Duh! Jantungku rasanya mau copot melihat tatapannya yang
melotot ke arahku.
“Ya sudah kalau itu maumu."
Buk!
Aku terjerembab di lantai busway hingga menimbulkan suara dentuman yang keras. Tidak kusangka, tiba-tiba pria itu mendorongku lalu menarik rambutku dan menamparku. Suasana sepi seperti ini menguntungkan untuknya. Gadis yang bersamanya mencoba melerai, ia menarik lengan pria bertubuh kekar itu agar menjauh dariku.
Aku sungguh marah! Tanganku tanpa sadar mengepal, tidak terima dengan perlakuan dan rasa sakit yang kudapat dari
pukulannya. Pintu busway terbuka—pertanda tiba di suatu pemberhentian. Aku
melihat di dahi pria itu tercetak jelas angka digital bertuliskan 22.35,
persis seperti angka-angka yang biasa kulihat saat ingin mengetahui waktu. Ini
aneh. Pintu busway tertutup bersamaan dengan aku yang seketika mulai tidak
sadarkan diri.
***
Aku terbangun, sebuah dengungan alarm memaksa kelopak mataku untuk terbuka. Tunggu! Aku ada di mana?
Huft! Aku merasa lega saat menyadari ini adalah kamarku. Tapi, bagaimana bisa aku tiba-tiba ada di dalam kamarku? Bukankah aku tadi malam pingsan, ya? Aku akhir-akhir ini sering menjadi pelupa dan itu parah sekali. Aku pernah tidur di kasur kamarku lalu kemudian terbangun di dalam kamar mandi.
Mungkin, kejadian itu terulang lagi kali ini. Ternyata aku tidak jadi pingsan. Yah, tidak seru! Harusnya aku pingsan lalu datang seorang pria tampan kaya raya menyelamatkanku. Kemudian kita menikah dan happy ending. Kenyataannya itu hanya angan-angan picisanku saja. Sudahlah, saatnya memulai hari.
Perusahaan mana lagi yang harus aku datangi? Sebelum berangkat
untuk mencari kerja, aku menyempatkan diri sarapan sambil mencari lowongan
kerja di internet. Saat aku men-scroll ponselku, tidak sengaja aku
menekan halaman berita. “Seorang Pria Terbunuh Secara Misterius di Gudang Dekat Terminal Busway.” Aku benar-benar terkejut. Entah mengapa firasatku
mengatakan bahwa pria temperamental tadi malam yang sedang menjadi subjek dari
berita ini. Aku mencoba membaca habis isi beritanya.
Pria ini sedang dalam
perjalanan pulang dengan kekasihnya hingga sosok misterius menusuk perutnya
dari belakang dan menyeretnya ke Gudang. Sang kekasih yang selamat tidak dapat
memastikan siapa sosok misterius yang menarik prianya karena pada saat itu keadaan
sangat gelap pun dia terperosok akibat dorongan dari sosok misterius tersebut.
Begitulah narasi berita yang kubaca. Tidak salah lagi ini pasti pria dan gadisnya yang aku temui tadi malam di dalam busway. Yang membuatku lebih terkejut adalah fakta bahwa hasil otopsi dari pria itu menunjukkan bahwa ia diperkirakan tewas pada pukul 22.35 persis seperti angka yang aku lihat di dahi pria itu tadi malam. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
***
(Bersambung...)
Spoiler bagian selanjutnya:
"Bagaimana bisa angka yang kulihat pada dahi pria itu sama persis dengan waktu kematiannya?"
...
"Kulihat kerumunan orang sedang berkumpul menatap aksi pria tua berdasi marah-marah kepada seorang pria—yang aku ketahui pedagang yang baru saja menawariku minuman."
...
“Entahlah, kalian percaya atau tidak. Bahkan mungkin kalian akan menganggapku gila setelah ini. Aku bisa membaca kematian seseorang”
...