Oleh: Indah Wulandari
Identitas Novel
Judul : Arok Dedes
ISBN : 979-8659-11-2
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra
Penerbitan : Januari 2002 Cetakan Kelima
Halaman : 417
Pendahuluan
“Arok Dedes” adalah karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra yang pertama kali diterbitkan setelah Soeharto lengser, pada bulan Mei 1998. Kisah Arok Dedes merupakan kisah kudeta pertama dalam sejarah kita. Kudeta unik di tanah Jawa, penuh dengan rekayasa kelicikan, lempar batu sembunyi tangan, dengan berbagai rencana untuk menjadi orang terhormat, kemudian tidak terlibat dijadikan korban yang ditumpas habis-habisan. digambarkan kisah perebutan kekuasaan. Selama dua puluh lima tahun lalu, sebagai tahanan di BuruPramoedya menuliskan kisah tampilnya Ken Arok sebagai Akuwu Tumapel menggantikan kekuasaan Tunggul Ametung. Pramoedya Ananta Toer tidak hanya menulis politik aktual atau sedang mengkaji apa yang terjadi pada tahun 1965, namun juga menulis lewat kekuatan kata dan wahana sastra. Dengan menampakkan sejarah sastra kepada generasi era Orde Baru.
Isi Resensi
Pada dasarnya novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer ini mengisahkan perjalanan hidup Arok dari kecil sampai dewasa, yakni sejak dia masih bayi dan beranjak dewasa sebagai penggembala kerbau di desa kemudian menjadi pemimpin pemberontak yang telah merepotkan pemerintah sampai menjadi prajurit di Tumapel. Di tempat inilah dia berkenalan dengan Dedes dan menjadi Akuwu setelah berhasil menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Novel ini juga menceritakan perjalanan hidup Dedes, putra Mpu Parwa yang diculik oleh Tunggul Ametung, dan dipaksa menjadi Paramesywari di Tumapel serta peranannya dalam meruntuhkan kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel.
Berdasarkan riwayat hidup Arok dan Dedes inilah pengarang menjalinkan proses perubahan sosial yang terjadi di Tumapel. Cerita ini dimulai dari tahap pemunculan konflik pada saat Dedes diculik dan diangkat menjadi Paramesywari di Tumapel. Acara pengangkatan Dedes sebagai Paramesywari di Tumapel dilakukan setelah upacara penutupan Wadad Pengantin atau upacara Brahmacarya. Pengangkatan ini dilakukan oleh Tunggul Ametung di depan rakyatnya. Cerita ini berlanjut dengan bertemunya Tunggul Ametung dengan pemimpin pemberontak bernama Arok. Arok kembali ke Padepokan Dang Hyang Lohgawe setelah Tunggul Ametung dan pasukannya pergi meninggalkannya.
Pada tahap pengenalan ini, pengarang menceritakan masa lalu dari Arok dan Dang Hyang Lohgawe. Pada tahap ini pengarang juga melukiskan situasi di Tumapel pada masa pemerintahan Tunggul Ametung. Pemerintahan Tunggul Ametung tidak membawa kemakmuran bagi rakyatnya, tetapi justru sebaliknya membawa penderitaan. Salah satu penyebabnya adalah tindakan para aparat pemerintahnya yang sewenang-wenang merampas tanah milik rakyat. Tindakan semena-mena seperti ini telah menimbulkan keresahan dan perlawanan rakyat di Tumapel. Pada novel ini juga diceritakan bahwa Arok dikirim oleh Bango Samparan yang merupakan orang tua pungutnya untuk belajar pada Perguruan Tantripala. Diceritakan pula tentang kehidupan Arok sebelum diangkat anak oleh Bango Samparan.
Pada masa kecilnya Arok adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya dan ditemukan serta dipelihara oleh Ki Lembung dan istrinya di sebuah desa bernama Randu Alas. Pada tahap pengenalan ini, diceritakan pula riwayat singkat dari Dang Hyang Lohgawe yang menjadi guru dari Arok. Cerita novel Arok Dedes ini memasuki tahap peningkatan konflik pada saat kaum Brahmana yang sementara bersidang mendengar bahwa Dedes, putri sahabat mereka, Mpu Parwa, telah diculik dan dipaksa menikah oleh Tunggul Ametung. Peristiwa penculikan ini mendorong mereka menetapkan keputusan untuk menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Adapun orang yang mendapat tugas ini adalah Arok.
Konflik dalam cerita ini makin meningkat ditunjukkan ketika usaha menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung ini makin mendekati pusat kekuasaan. Hal ini ditandai dengan berhasilnya Arok menyusup ke dalam Pekuwuan Tumapel dengan menjadi prajurit atas bantuan Dang Hyang Lohgawe dan bertemu dengan Dedes. Dalam pertemuan ini, mereka memutuskan untuk bekerja sama menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung. Konflik ini terus meningkat dengan munculnya beberapa kelompok lain di sekitar kekuasaan Tunggul Ametung yang juga ingin merebut kekuasaan di tengah kekeruhan situasi politik di Tumapel. Kelompok-kelompok ini di samping berkonfrontasi dengan Tunggul Ametung juga berkonfrontasi dengan pihak Arok. Mereka adalah kelompok Mpu Gandring. Kelompok lainnya adalah kelompok yang dipimpin oleh Yang Suci Belakangka. Kelompok ini ingin menempatkan kekuasaan Kediri langsung di Tumapel. Caranya dengan menggulingkan kekuasaan Tunggul Ametung dan mengangkat keluarga Sri Baginda sebagai penguasa di Tumapel.
Tahap puncak dari cerita Arok Dedes ini adalah runtuhnya kekuasaan Tunggul Ametung di Tumapel akibat perlawanan rakyat yang diwujudkan dengan mobilisasi kekuatan rakyat bersenjata ke pusat pemerintahan Tumapel di Kutaraja. Perlawanan ini di pimpin oleh seorang lelaki bernama Arok. Tunggul Ametung akhirnya mati dibunuh oleh Kebo Ijo pada saat Kutaraja diserbu oleh pasukan dari Arok. Cerita ini berakhir dengan diangkatnya Arok sebagai Akuwu di Tumapel. Pengangkatan ini dilakukan di hadapan rakyat yang telah bersama-sama menggulingkan Tunggul Ametung. Pengangkatan ini dilakukan oleh Dang Hyang Lohgawe.
Kelebihan
Novel ini sangat cocok bagi pecinta pembaca novel yang di dalamnya mengisahkan sejarah. Biasanya novel yang dibuat pengarang kebanyakan menceritakan kisah cinta saja. Namun, pada novel Arok Dedes ini pengarang mengangkat kisah sejarah yang jarang sekali dilakukan oleh pengarang novel. Peristiwa sejarah yang terjadi diceritakan di dalam novel dengan bahasa sastra pada zamannya. Tidak hanya sejarah tentang kekuasaan yang digambarkan, tetapi terdapat juga kisah cinta antara Arok dengan Dedes. Sehingga novel ini tidak monoton pada bidang politik saja namun juga pada kisah percintaan.
Kekurangan
Novel ini sebenarnya sudah bagus dengan menggunakan bahasa sehari-hari pada zamannya. Namun, jika novel ini dibaca oleh kaum milenial saat ini bahasanya kurang dapat dipahami. Terdapat beberapa nama gelar atau kata-kata pada masa dahulu yang tidak bisa dimengerti pada masa sekarang. Lebih baiknya novel ini ketika memberikan nama gelar atau kata-kata lain zaman itu juga diberikan penjelasan yang bisa dimengerti yang nantinya bisa dipahami zaman dahulu hingga sekarang.