Oleh: Miftahul Jannah
Bagai angan yang bertabrakan dalam tempat yang menyusut percampuran ideologi dalam zaman. Hinggap, lelap, dan mulai tertidur tak sadarkan diri bagai anak bayi dengan obat tidur berlebih. "Aku jatuh cinta pada cinta totalitas, hingga aku lupa ada dia yang harus ku perhatikan". Gumang Dahan, memikirkan cintanya yang merasuk dalam jiwa.
Dahan melirik sebentar, sebab tak rindu padanya, ia mulai duduk memenuhi kewajiban, terpaksa. Dahan mulai bosan dengan suara bising itu, ia beranjak melirik kanan dan kiri dengan melangkahkan kaki menuju cintanya, namun, "han, sabarlah sebentar, duduklah ibu mohon". Pinta sang pemilik Dahan dengan lirih, karena tidak enak hati menolak, Dahan kembali duduk menahan diri. Waktu semakin menyempitkan nafas Dahan, dengan refleks ia berdiri dengan mata tajamnya menyoroti kebanyakan orang, ia tak tahan lagi, kepalanya terasa pening, matanya terlihat merah berkaca, dan nafasnya keluar masuk, sesak. Tanpa berpikir panjang ia pergi melepas tanggung jawab. Dahan kembali pada cintanya, terlentang di atas empuk kasur dengan kebutuhan yang dibukalah bajunya dan diletakkannya di atas dadanya, fokusnya pada layar dance (k-pop) 3 jam lamanya, Dahan tersenyum bahaia, dengan kasih sayangnya ia memakaikan kembali baju cintanya dengan kelembutan dan kembali meletakkannya kedalam lemari kaca itu. "tok...tok...tok.." pintu itu berbunyi keras bertanda sang pemiliknya dalam kemarahan, Dahan tutup selimut dalam gelap ia tutup mata rapat, "krek...." bunyi pintu itu yang terlihat dalam gelap ada cahaya dari sudut pintu bersama dengan sosok bayangan berselendang, ia mulai mendekat, "kelak kau akan mengerti nak pentingnya adaptasi dalam kebiasaan yang telah lama kau tinggal, hanya butuh proses, jangan jenuh dan bosan lagi, sabarlah nak". Suara itu terdengar membuka sedikit pikirannya, namun tak mengurangi cintanya.
Sebagai seorang mahasiswa, Dahan dituntut aktif dan tepat waktu, yang terkadang membuatnya gila karena tak sempat berlama-lama dengan cintanya, baginya cintanya prioritasnya, luang waktunya hanya untuk dia, duduk di pojok kelas, bersandar dinding, menutup telinga, dan melototkan mata dengan kacanya. Tidak jarang teman-teman kelasnya merapat padanya dengan cinta yang semakin hari semakin tumbuh, mereka menjadi segila Dahan bahkan Regina tampak lebih gila, bukan pokus mata kuliah dan dosen, malah fokus dengan cinta gilanya, setiap waktu Regina tiada hidup tanpa cintanya, di kamar mandi, dapur, dan kampus hanya cintanya yang ia lihat dan dengarkan sehingga Regina dikenal autis. Hidup dalam ketidak sadaran, berasa berperan menjadi Exo atau Blackpink adalah mimpi Dahan dan teman-teman kelasnya, bahkan Merry rela berbiaya, dengan pindah ke salah satu kampus di korea. Untunglah orang tua Merry pengusaha kaya raya hingga menuruti kemauan anak semata wayang mereka. Namun sebab terlalu memanjakan Merry, ia harus meninggal tragis sebab virus Corona ketika mengadakan analisis ke Jepang, bahkan mayat Merry pun tidak diketahui keberadaannya, kepulangan mayat itu diduga ditolak pemerintah sebab takut virus tersebut menular, namun berita itu simpang siur, orang tua Merry histeris mengetahui kematian putri semata wayangnya. Mendengar kabar itu Dahan berasa teriris pecahan beling, mengingat Merry dulunya anak yang rajin dan pandai, namun karena pengaruh Dahan, Merry berubah total hingga kematiannya pun sangat tragis. Namun kejadian itu hanya membuat hati Dahan takut dalam beberapa bulan kemudian cintanya tumbuh kembali, bahkan kegilaan Dahan sudah dalam taraf tinggi, hampir mencapai titik autis. Sang pemilik Dahan pun merasa putus asa, menasihati anak yang autis sehingga ia menemukan obat autis Dahan, ia memutuskan Dahan masuk lingkungan pesantren tanpa elektrotik apapun, Dahan menolaknya seketika, "maafkan aku bu, aku tidak bisa mengikuti kemauan ibu". Jawab Dahan spontan. "mahu atau tidak, tapi ibu akan tetap mengirimmu". Tegas Sang pemilik Dahan. Dahan tertunduk lesu, merasa akan ada dalam penderitaan hakiki. Perlahan kakinya melangkah maju meninggalkan pemiliknya, kekacawannya terobati cintanya, ketenangan dan kenyamanan hanya ia dapat dari cintanya.
"kring...kring...." bunyi bel itu membangunkan 500 orang santri lebih, dalam satu atap dengan kamar mandi terbatas, mereka terlihat berdiri berjejeran dengan badan setengah sadar dan mata setengah terpejam, sebagian kembali ke kamar membuat markas dibelakang lemari, sebagian tidur bersandar tembok. "hadeh... Masih jam 2 pagi".ucap Dahan, menggrutu, sambil memindahkan bantal ke atas kepalanya. "kring..kring...kring..." bel kedua bertanda kewajiban dimulai, para santri berlarian ke masjid takut kehilangan rambut indah terawat. Seperti biasa absen jama'ah shalat malam berjalan, "Akbar,, Samsul,,Faris,,Dahan... Kemana Dahan? Akbar teman kamarmu ini bertopeng apa?" dengan wajah mirip Angry Birds , suara Terdengar mendebarkan, Ustad Diyad menanyai keberadaan Dahan. "saya tidak tahu ustad".gemetar Akbar menjawab. "cari Dahan, sampai ketemu atau absenmu akan kosong juga". Lantang dan keras Ustad Diyad memerintah. "baik ustad". Jawaban lirih Akbar. Dari jendela terlihat ada sesosok yang tertidur lelap dalam kenyamanan. "han..han.. bangun, bangun".teriak Akbar dekat telinga Dahan, namun Dahan tidak bisa diganggu apalagi dengan suara Akbar yang terdengar seperti nyanyian. Akbar keluar dan kembali membawa gayung, dihujankannya air pada wajah Dahan, "Akbar, apa-apaan ini, da...sar.." suara Dahan meninggi dengan lototan mata tajam. "Astagfirullah han, jama'ah sudah selesai, Ustad Diyad mencarimu". Akbar menjelaskan. "alaah..kamu menghujani wajahku hanya karena hal tidak penting ini, sana sana bilang ke Ustad aku sakit". Dahan menggerutu dengan tipu, Akbar terdiam lama memandang wajah basah di depannya, "huy.. Kamu tuli? Pergi sana".ucap Dahan, bosan melihat Akbar, Akbar pun mengalah, ia kembali ke masjid. "bar..mana Dahan?" tanya Ustad Diyad, dalam angan, Akbar tidak bisa bohong, namun ia juga tidak tega pada Dahan, ia hanya merunduk bisu. "nanti habis dhuha kamu dan Dahan menghadap saya, bawa gunting yang tajam". Perintah Ustad Diyad, dengan mata sayu lelah, Akbar hanya menganggukkan kepala. "dia yang salah, kenapa aku juga dihukum, ya Allah kuatkan aku".dialog Akbar dalam angan. Di kamar wajah Akbar pucat, selama 7 tahun mondok baru pertama ia akan dihukum seberat itu, "bar sudah kamu bilang ke Ustad, aku sakit?" sapa Dahan, menanyakan. "Ustad menyuruh kita menghadap setelah jam dhuha dengan gunting yang tajam". jawab Akbar terlihat kesal. "ha ha ha, itu yang membuatmu sedih bar? Rambut bisa tumbuh lagi bar tenang".ejek Dahan, tertawa. "diamlah, rambut memang tak terlalu berarti bagiku, namun tanggung jawab sebagai santri yang ku jaga selama 7 tahun ini mulai tercemari hanya karena kesalahan yang ditimpakan padaku, kau tak akan paham arti kata santri, karena baru seminggu kau berperan".Akbar meluapkan kesalnya dengan katanya. Mendengar kata-kata Akbar, Dahan membisu, hanya tawa menahan malu yang ia tampakkan. Entah, hati Dahan belum terbuka, selama 3 bulan di pondok 20 kali potong rambut totalitas. Bahkan setiap rambutnya tumbuh selalu saja berhias warna, tidur larut malam, menonton film korea bersama teman sekamarnya kecuali Akbar, Akbar memilih tidur di masjid untuk menghindari pengaruh yang sebenarnya pun ia menahan nafsu. Setiap kali penggeledahan, kamar mereka selalu menjadi tersangka dan tertimpa hukuman bersama, Akbar dengan sabar menjalani hukuman itu. Setahun di pesantren, pemilik Dahan tak melihat perbaikan dalam diri anaknya, malah semakin autis dan gila pada k-pop, di bulan suci Dahan tidak melakukan ibadah tarawih sesekalipun, ia mengungci diri dalam kamar terhanyut dalam suasana cintanya, bahkan tak sekalipun ia buka ayat suci, setiap kali ibunya memanggil untuk berbuka puasa bersama, ia tak memenuhi panggilan, ia tertidur lelap di waktu keharaman "Astaghfirullah nak, bangun, sudah 15 hari ibu lihat kamu tidur jam segini, waktu ini tidak baik untuk tidur, bisa membuatmu gangguan jiwa".pemilik Dahan berusaha membujuk Dahan dalam kesadaran. "ibu, ibu ini Dahan bangun, lapar".jawab Dahan, ketus yang mulai membuka mata dan duduk. "mana makanannya?"tanya Dahan menggerutu. "ayo ke meja makan, berbuka puasalah bersama ibu, sesekali saja".pinta pemilik Dahan, lirihkan suaranya. "gak, gak, aku akan makan disini".tegas Dahan, meninggikan suara, pemilik Dahan mengalah dan mengantarkan makanan anaknya. Hijab itu semakin jelas menutupi kebenaran, jiwa hampa dari deretan takwa, mata lembam merah sebab cinta buta, kewajiban tanpa ruh yang sesekali terlaksana, kini jauh kian tak terlihat, mencoba dalam perbaikan malah semakin hanyut dalam dekapan maksiat "ya Tuhan, sebab apa putraku berbuat tak karuan, bukankah aku memenuhi sebagai pembimbing titipan-Mu. Adakah salahku Tuhan? Jika jiwanya tak akan kembali, ku mohon jangan lamakan dia dalam kemaksiatan".ucap pemilik Dahan dalam do'a nisful lailnya dengan terisak tangis ia merasa gagal menjadi orang tua.
(. . . Bersambung)