Oleh: Alileo Agustin
23 Agustus 2010
Di penghujung sore ini,
aku kembali ke sebuah kafe di penggiran dermaga Tanjung Perak, Surabaya. Kafe
yang tak terlalu besar ini dikenal dengan Giras Pamungkas Kosongsebelas. Ketika
hati riuh entah oleh perasaan macam apa namanya, entah itu karena rindu atau
luka, atau sangat mungkin karena kedua-duanya, Giras Pamunngkas selalu
memberikan ketenangan yang utuh. Entah itu karena suasana teduh di setiap
penghujung senja, entah itu karena gemuruh debur ombak yang seakan bernyanyi
ketika terantuk kaki-kaki dermaga yang terbuat dari besi. Lebih dari semua itu,
bersama suitan burung-burung laut yang timbul tenggelam dalam udara, ombak itu
seakan-akan menari. Tak pernah berhenti.
Ketika lamunanku terus
terfokus pada suasana teduh macam itu, pandanganku pecah oleh sosok lelaki
berusia senja yang baru masuk. Setelah memesan kopi hitam tanpa gula–jangan kau
tanya aku kenapa tanpa gula, aku pun tak tahu apa alasannya, lelaki paruh baya
itu langsung saja duduk di sampingku.
Sejak pertama kali
melihatnya, dari matanya yang teduh, aku tak pernah menyangka bahwa pria ini
akan mengajarkan kesetiaan utuh yang selama ini tak pernah ku kenali, bahkan
untuk diriku sendiri.
“Tiga puluh tahun lalu,”
katanya setelah kami saling tukar nama dan basa-basi tentang kepribadian
sendiri, “di antara gemuruh ombak yang tak berperasaan, istriku di gerus arus
laut pada keheningan senja di tengah laut sana. Persis pada tanggal dan bulan
yang sama dengan hari ini.”
Perlahan, ku temukan luka
yang sekaan kembali menganga di ujung hatinya, terlihat jelas dari bola matanya
yang kini menjadi perih.
***
23 Agustus 1990 M.
“Mas, aku hendak
menyambangi ibu di Bangkalan. Dia sedang sakit.”
Hanum, yang baru tiga
bulan melahirkan itu membujuk suaminya. Ada selusin kebimbangan yang kemudian
menghimpit jiwa suaminya, Lie. Kehidupan Lie yang bergantung pada sepasang
sepatu satpam di pelataran pasar Turi, Surabaya benar-benar telah
membelenggunya.
“Tak ada cuti minggu ini, Hanum...”
“Aku hanya butuh izinmu,
Mas. Kau sendiri teruslah bekerja. Tiang rumah tangga kita yang takkan pernah
bisa berdiri tanpa kau mencari rezeki.”
Kebimbangan untuk melepas
Hanum pergi sendirian dengan menggendong bayi kecilnya terus saja membelenggu.
Dan Lie, dalam kemauan untuk selalu menjaga kesehatan dan keselamatan istrinya
yang baru melahirkan, memaksa diri sendiri untuk rela melepasnya pergi.
Sendiri. Suatu kerelaan yang terpaksa, yang akan disesalinya di kemudian hari!
Sore itu, dengan angkutan
umum dari persimpangan jalan Sawah Pulo, Hanum pergi ke dermaga Tanjung Perak,
Surabaya. Selain berat tas plastik yang berisi berbagai macam makanan mentah
seperti sayur-mayur dan ikan, perjalanannya juga dipersulit dengan menggendong
Luluk. Bayi itu tidak mungkin ditinggal bersama ayahnya yang seharian menjadi
satpam di parkiran pasar besar itu.
Dari atas kapal Very yang
mulai berlayar, Hanum memandangi laut lepas dengan sesak nafas. Ada satu
perasaan aneh yang menerpanya. Apa aku masih merasa tidak nyaman dengan rasa
tak rela suamiku yang terpaksa ditinggalkan? Batin seperti itu memang tidak
bisa Hanum bohongi, tapi dia terpaksa harus pergi.
Di tengah laut, gemuruh
ombak yang menerjang kapal dengan sangat keras tiba-tiba mengagetkannya. Ia
lantas teringat suaminya saat baru menikah dan memboyongnya ke Surabaya dua
tahun lalu. Saat itu Lie berkata sambil memandangi hamparan laut biru yang tak
berujung di arah timur.
“Hanum, setiap kali debur
ombak yang tergulung bersama riuh angin menabrak kapal, selalu ada rasa aneh
yang menghimpit jiwaku: ada kemauan untuk berkpribadian kuat, karena ombak yang
pecah terantuk kapal selalu mengajarkan semangat keperkasaan dengan
mengulang-ulang tabrakan. Selain itu, ada juga rasa takut karena ombak yang
banyak menyimpan misteri, kadang menampakkan keperkasaannya dengan sangat
mengerikan.” Lie diam sejenak.
“Namun, bersamamu di
tengah laut seperti ini, ada rasa berbeda yang memaksaku mengungkapkan suatu
kemesraan itu kepadamu:”
Lie mendekatkan bibirnya
ke telinga Hanum. Sangat dekat.
“Aku ingin kebersamaan
kita seperti karang di seberang sana,”
Mungkin sengaja tidak ia
teruskan kata-katanya, agar Hanum bisa merasakan dan meneruskan sendiri ucapan
mesra suaminya, dengan desiran halus nafas yang menegakkan bulu kuduknya.
Lamunan itu kemudian
buyar. Entah karena apa tiba-tiba saja Luluk menangis. Dengan susah payah Hanum
timang bayinya agar berhenti menangis. Tak berhasil. Bayi itu terus saja
menangis seakan menakutkan keadaan dan hendak mengucapkan sesuatu, tapi Hanum
tak juga tahu.
Dari kejauhan, dua bocah
bermain kejar-kejaran di antara kerumunan. Bocah itu tak tahu aturan karena
masih kecil. Seorang yang dikejar oleh temannya berlari kalang kabut. Tanpa
sengaja ia tabrak Hanum yang sedang menghadap laut di ujung belakang kapal Very
yang memang tak tertutup.
Hanum kaget karena
terkejut, dan ia jatuh. Mungkin karena saking kerasnya ditabrak, ia menjerit
saat melihat Luluk, putri kecilnya itu terlempar dan melayang ke udara. Tragedi
itu akhirnya terjadi: bayi itu terjun bebas begitu saja ke dalam laut yang tak
berperasaan. Tangisan bayi yang semula keras itu kini tertelan tarian maut ombak
laut.
Orang-orang yang
melihatnya kemudian riuh. Keadaan itu semakin gaduh ketika dengan nekatnya,
pastinya karena kasih sayang dan cinta, Hanum ikut menceburkan diri ke arah
laut di mana bayinya timbul tenggelam dalam pandangan.
Hanum tahu ia tidak bisa
berenang. Tapi membiarkan bayinya yang berumur tiga bulan di mangsa air asin
adalah tindakan konyol. Namun, Hanum mungkin juga tidak sadar bahwa dengan
menceburkan diri untuk menyelamatkan bayinya akan menambah kekonyolan sore itu.
Penumpang yang rata-rata orang tua sama-sama tertegun-haru melihat semuanya.
Beberapa petugas kapal
kemudian datang dan ikut menceburkan diri. Di sinilah tragedi itu semakin
menyedihkan. Luluk, bayi tiga bulan itu tidak ditemukan, meski Hanum kemudian
berhasil diselamatkan.
“Istriku tidak sadarkan
diri beberapa hari. Mungkin itu menyedihkan, tapi lebih menyedihkan lagi saat
ia sadar dan menyadari anak kita telah pergi. Selama-lamanya.”
Lie berhenti. Dia memang
tidak menangis saat menceritakan itu padaku, Dia sudah terlalu paham cara
memanjakan kesedihan karena ditinggalkan, tapi tatapannya yang keruh dan
lesu dari kafe yang jendelanya dibiarkan terbuka, aku tahu ia terbungkam karena
kesedihan.
“Lebih menyedihkan?”
Dia memaksakan senyum
dalam kesedihan.
“Hanum syok dan tak bisa
menerima kenyataan. Dia sakit berbulan-bulan, sebelum akhirnya menjemput Luluk
di peraduan Tuhan. Dia pergi untuk selama-lamanya.”
Dia menundukkan kepala
begitu dalam. Mungkin menyesali karena tidak menemani istrinya sore itu. Dan,
sore ini aku ingat, sekarang tanggal 23 Agustus. Matahari hampir tenggelam di
ufuk barat. Senja teduh yang salip-menyalip dengan kepak burung laut menyentuh
perasaanku.
Aku ingin bertanya apakah
dia kesini untuk mengenang kembali istrinya. Tapi aku tahu bahwa itu
benar-benar tidak sopan jika aku tanyakan. Aku juga ingin tahu apakah dia kawin
lagi setelah Hanum meninggal dunia. Tapi aku juga tahu bahwa itu tambah tidak
sopan lagi. Aku diam saja menunggu reaksi berikutnya. Dia lantas memandang laut
luas dari kafe yang jendelanya masih dibiarkan terbuka. Dengan suara datar yang
penuh getar, ia berkata:
“Di setiap tanggal dan
bulan yang sama dengan hari ini, aku selalu kembali ke ke sini. Ke setiap
rindu-penyesalan yang kadang menyimpan banyak gejolak perasaan. Ke setiap arti
cinta kehidupan yang kadang harus dibayar mahal dengan pengorbanan.”
Aku diam saja mendengarnya, meski sebenarnya rada tak percaya. Aku terlalu biasa dengan permainan busuk cinta asmara, dan belum pernah menemukan cinta sejati seperti yang dikisahkan pria bernama Lie seperti saat ini. ~Untuk dia yang di sana. Untuk perasaan yang belum terungkapkan.