KRONOS (Bagian 2)

0

Baca bagian sebelumnya di sini!


***

Pencarian kerjaku hari ini kembali tidak membuahkan hasil. Aku sudah mengajukan syarat yang mereka mau, tetapi tetap saja ditolak. Hampir saja aku diterima di salah satu perusahaan e-commerce terbesar di negeri ini karena kemampuan berbahasaku yang baik. Namun, mereka malah menolakku karena menurut mereka pengalaman jam terbang kerjaku masih kurang—alasan klasik. Aku memilih duduk untuk mengistirahatkan diri di bangku taman kota. Pikiranku melayang pada berita tadi pagi. Bagaimana bisa angka yang kulihat pada dahi pria itu sama persis dengan waktu kematiannya. 

“Nona, minuman dingin, cocok untuk cuaca yang panas." seorang pedagang menawarkan minuman padaku.

“Boleh, aku minta satu, ya? yang warna orange.” 

“Beli berapa, nona?”

“Satu saja," jawabku sambil memberikan uang. 

Pedagang itu kemudian berlalu meninggalkanku sendiri menikmati minuman segar ini. Benar kata pedagang tadi, minuman ini cocok dengan cuacanya.

Samar, aku mendengar kegaduhan berasal dari sisi selatan taman. Aku menoleh ke belakang mencari asal suara. Kulihat kerumunan orang sedang berkumpul menatap aksi pria tua berdasi marah-marah kepada seorang pedagang yang baru saja menawariku minuman.

“Asal kau tahu, hasil jerih payahmu sampai kapanpun tidak akan bisa menggantikan sepatu mahalku. Dasar miskin, sudah kere tidak punya mata lagi!” kata pria tua itu penuh amarah.

“Maaf tuan, aku benar-benar tidak sengaja, ampuni aku.” Pedagang itu bersimpuh tepat di kaki pria yang tadi marah-marah dihadapannya. Lihatlah bahkan orang-orang hanya menatap mereka tanpa berusaha menghentikannya. Di mana letak hati nurani manusia-manusia ini. 

Aku bangkit mencoba menghampiri asal kegaduhan. Seorang wanita paruh baya menahanku.

“Jangan ikut campur nona, pria berdasi itu adalah pejabat, akan sulit jika berurusan dengannya,” wanita itu memperingatiku. 

Aku berhenti, diam menyaksikan apa yang akan terjadi.

“Berapapun akan saya bayar asal tuan mau mengampuni saya." pedagang tadi masih dalam posisi bersimpuh.

“Woah! berapapun katamu?” Pria tua itu tertawa. 

Pria tua itu menunjuk sepatunya. 

"Bagaimana jika ini ditukar dengan nyawamu. Sayangnya, nyawamu juga tidak ada apa-apanya dibandingkan harga sepatu ini." Ejek si Pria tua.

Sungguh ini sudah keterlaluan! Aku benar-benar kesal, bagaimana bisa sebuah nyawa menjadi imbalan hanya untuk sebuah barang.

 Tunggu! Aku melihatnya lagi, di dahi pria itu tertulis angka 13.45 persis seperti yang aku lihat di dahi pria busway yang tewas kemarin. Kulirik jam tangan ku, layarnya menunjukkan pukul 13.15 Belajar dari peristiwa sebelumnya, maka pria tua ini memiliki waktu 30 menit sebelum ajalnya. Apa yang harus aku lakukan, haruskah aku mengatakan padanya bahwa dia akan mati?

“Tunggu tuan, sebaiknya anda memaafkannya. Kita tidak tahu ajal siapa yang lebih dekat. Pedagang ini atau anda.” Akhirnya aku memutuskan untuk berbicara. Seketika perhatian semua orang beralih ke arahku. Termasuk pria tua dan pedagang itu.

“Apa maksudmu nona manis?” Tanya pria itu menyelidik.

Baiklah kuputuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. 

“Entahlah, kalian percaya atau tidak. Bahkan mungkin kalian akan menganggapku gila setelah ini. Aku bisa membaca kematian seseorang." Tepat dipenghujung kalimatku, orang-orang tertawa serempak. Bukan tawa bahagia, tapi tawa mengejek. Sudah kuduga pasti mereka tidak mempercayaiku.

“Aku tahu kalian pasti tidak akan percaya padaku, tapi sungguh aku berkata benar. Aku melihat waktu kematian di dahimu tuan. Waktumu kurang dari 30 menit lagi.” Ucapku berusaha membuat orang-orang percaya. Tapi, yang kudengar malah suara tawa mereka lebih kencang dari sebelumnya. 

“Sudah-sudah, kali ini aku melepaskan pria miskin ini. Berterima kasihlah pada nona manis ini yang telah menghiburku dengan lelucon yang tidak masuk akal. Hahaha, aku sampai tidak bisa berhenti tertawa dibuatnya." Ujar pria itu tertawa. 

Ia melempariku beberapa lembar uang—untuk tips karena telah menghibur, katanya. Kemudian ia pergi menaiki mobil bersama dengan pengawalnya. Kerumunan itu bubar, masih dengan tatapan orang-orang yang seolah mengejekku. 

“Terima kasih nona, kau telah menyelamatkan hidupku. Semoga hidupmu diberkati.” Ucap pedagang tadi berterima kasih padaku. Aku membalasnya dengan anggukan sopan. Aku memutuskan pulang, peristiwa tadi benar-benar menguras habis energiku. 

Di dalam sudut kamar ini pikiranku melayang memikirkan nasib pria tua itu. Mengapa angka itu bisa tiba-tiba muncul? Apakah pria tua itu akan mati? Apakah aku benar-benar bisa melihat kematian? Hingga kurasa kantuk menghampiriku.

***

Aku terbangun, masih di dalam kamar. Kulirik jam di nakas, sudah pukul 8 malam rupanya, lama juga aku tidur. Perutku terasa lapar, aku bergegas ke dapur untuk mencari apa saja yang bisa dimakan. Terlampau malas untuk memasak pun sayang jika pesan dari luar. Ingat aku ini masih dalam mode berhemat.

Beginilah nasib pengangguran. Aku memutuskan makan sambil menonton TV, saat ini jadwal serial aktor favoritku. Wah bisa tidak tidur aku memandangi wajah tampan, mata sipit dan kulit putihnya, kkekeke aku jadi geli sendiri. Ku tekan tombol power dari remote control untuk menghidupkan televisi.

Uhuk! Uhuk!

 Ya Tuhan, aku hampir saja mati tersedak. Kalian pasti tidak percaya ini! Tapi, lihatlah! Pria tua yang tadi marah-marah di taman dikabarkan tewas akibat kecelakaan mobil. Gilanya lagi, polisi menginformasikan bahwa pria itu tewas di tempat tepat pada pukul 13.45, supir dan pengawalnya selamat dalam kecelakaan itu. 

Aku benar-benar lemas, rasanya tidak selera untuk makan. Sebenarnya apa yang terjadi padaku. Sebelum masuk dari rumah sakit rasanya aku tidak pernah mengalami kejadian seperti ini. Namun, setelah keluar dari rumah sakit rentetan kejadian aneh mulai menimpaku. Setelah semua ini aku tersadar, aku memiliki kemampuan untuk melihat apa yang mereka sebut ‘kematian’.

***

Semalam aku tidak bisa tidur, memikirkan rentetan kejadian yang akhir-akhir ini yang menimpaku. Terkadang, aku menyesal. Seharusnya aku bisa menolong mereka untuk menghentikan ajalnya, atau sekedar memberitahu agar mereka menyampaikan pesan-pesan terakhirnya. Baiklah kali ini aku putuskan, jika aku melihat angka aneh itu lagi, aku bersumpah akan menolong mereka sebisaku.

Hari ini libur, otomatis perusahaan-perusahaan yang membuka lowongan kerja juga sedang tutup. Aku mengisi hari libur ‘cari kerja’ ku dengan berolahraga pagi, lumayan untuk menghalau stress. Kalian pasti penasaran mengapa aku selalau sendiri? Yah, begitulah kenyataanya, aku memang hidup sendiri. Ayahku meninggal saat aku baru saja bisa berceloteh, katanya saat itu usiaku 3 tahun. Sedangkan Ibuku baru saja pergi meninggalkanku satu setengah tahun yang lalu. Kecelakaan itu merenggut nyawa Ibuku, tapi tidak denganku. Itu juga yang membuatku harus mendekam satu setengah tahun di rumah sakit.

 Ya sudah, terima saja. Toh, ini takdir. Soal teman, aku tidak punya itu. Kalian tau kan manusia itu terdiri dari bermacam-macam jenis. Ada yang suka bergaul dan ada yang suka menyendiri. Nah, aku ini jenis yang ke dua. Berteman membuatku lelah, lagipula aku sudah cukup senang dengan kesendirianku.

 Langit berubah menggelap, wajar saja ini sudah pukul 18.00 malam. Aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan di pusat kota. Weekend begini enaknya membaca sih. Inilah hobiku membaca apa saja yan menarik di mataku. Dulu saat di rumah sakit, satu-satunya hiburan bagiku adalah buku, sehari aku bisa menghabiskan dua atau tiga buku. Hebat kan, aku?

Asik membaca tiba-tiba ada wanita paruh baya yang menyentakku.

“Kau! Anak sialan yang menyebabkan ibumu mati.”

Itu suara Bibiku, adik dari mendiang ibuku. Aku tahu kecelakaan itu menggoreskan luka di hatinya, hingga ia bersikap seperti itu padaku.

“Bibi, sudahlah, kecelakaan itu juga bukan aku yang mau. Ibu sudah tenang di sana. Jangan saling menyalahkan, kita doakan saja ibu.” Sebenarnya kata-kata ini kuucapkan juga untuk menguatkan diriku sendiri. Kematian ibu masih terasa menyakitkan untukku.

“Aku tidak akan pernah lupa, jika bukan karena kau yang meminta ibumu untuk menuruti keinginanmu berlibur ke kota seberang, ibumu mungkin masih hidup sampai saat ini.”

“Bibi cukup, aku sudah berusaha merelakan. Aku bahkan sudah menganggapnya sebagai takdir yang tidak bisa kucegah.” Ucapku dengan suara bergetar. Aku tidak ingin menangis, cukup! Aku harus kuat.

“Kau adalah anak pembawa sial! Kau pikir kenapa ayahmu mati hah! Dia mati tenggelam untuk menyelamatkanmu! Kau baru tahu fakta itu kan anak nakal” 

Apa katanya? Ayahku mati karena menyelamatkan aku. Ya Tuhan fakta apalagi ini. Aku tidak bisa menahan tangis, dadaku sesak rasanya. Apakah aku benar-benar pembawa sial? Sakit, hatiku rasanya sakit sekali. Kuberanikan untuk menatap wajah bibiku.

 Sial! sungguh sial! Aku melihat angka itu lagi tertulis di dahi bibiku. Di sana tertulis 21.00. Gila ini gila, aku melihat penunjuk waktu di perpustakaan yang saat ini menunjukkan pukul 20.40. Waktuku tidak banyak 20 menit lagi atau aku akan kehilangan bibiku. Kusampingkan egoku, walau masih kesal bagaimanapun dia masih bibiku.

“Bi, dengarkan aku, aku mohon kali ini percaya padaku. Aku bisa melihat kematian, dan saat ini aku bisa melihat bahwa ajalmu sudah hampir tiba.” ucapku berusaha meyakinkan bibiku.

“Apa yang kau katakan anak pembawa sial, jangan berusaha mengalihkan pembicaraan. Kurang ajar sekali kau bilang bahwa aku akan mati.” Bibiku menjawab marah.

“Bi, aku bersumpah demi nama ibu, aku benar-benar bisa melihatnya. Angka di dahimu itu hanya aku yang bisa melihatnya. Tidak kah kau ingat, kemarin ada berita pria yang tewas di terminal dan pejabat yang tewas dalam kecelakaan. Aku melihat tanda yang sama dengan apa yang kulihat pada dahimu. Percayalah bi.” Aku meyakinkannya dengan bersumpah atas nama ibu, di keluarga kami, bersumpah atas nama orang yang kami cintai adalah sumpah yang sakral. 

“Lalu apa yang harus aku lakukan?” Bibiku mulai luluh, sumpah atas nama keluarga bukanlah sumpah yang main-main. Maka dari itu, dia percaya padaku.

“Tetaplah bersamaku Bi, kau akan aman di sisiku. Kita harus cari tempat berlindung yang aman.” Aku menarik tangan bibiku, membawanya keluar dari perpustakaan. Tujuanku adalah apartemenku, di sanalah tempat yang aman. 

Sesampainya kami di apartemen, aku langsung mengunci semua pintu, jendela dan segala sesuatu yang memungkinkan orang jahat untuk masuk. Kusingkirkan semua benda tajam. Aku membiarkan bibi beristirahat di sofa, kubuatkan juga dia air hangat. Sial! Kenapa angka di dahinya tidak kunjung menghilang bukankah dia sudah aman di sini. Kulihat jam di nakasku menunjukkan pukul 20.50. Apa yang terjadi, mengapa angkanya tidak menghilang? Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan dari pintu apartemenku. 

“Siapa itu?” tidak ada yang menyahut. 

Suara ketukannya bertambah keras. Bibiku meringkuk dengan tatapan kosong, dari raut wajahnya aku bisa melihat bahwa dia ketakutan. Aku menarik bibiku menuju kamarku. Kukunci pintu kamarku sembari merapalkan doa, semoga saja kita berdua bisa selamat. Suara pintu didobrak terdengar, dilanjutkan dengan suara langkah kaki. Ya tuhan, siapapun yang ada di luar sana, pasti dia punya maksud jahat. 

Aku menatap bibi dan tatapan bibiku malah terlihat kosong. Aku membawanya untuk bersembunyi di lemari. Biar kali ini jika harus ada yang mati, biar aku saja yang menghadapinya. Aku bersembunyi di bawah dipan, kulirik jam di nakas menunjukkan pukul 20.55. Suara kaki terdengar semakin jelas disusul ketukan pintu kamarku. Ya Tuhan aku bersumpah aku tidak pernah setakut ini. 

Pintu kamarku terbuka dengan keras. Mataku terpejam, jantungku berdegup kencang. Suara langkah kaki semakin mendekat. Sekilas kulirik nakas, layar jam ku menunjukkan pukul 20.58 ketika langkah kaki mendekat kearahku beriringan dengan detak jantungku. Kuharap bibi baik-baik saja. Aku dapat melihatnya dari sedikit celah pintu lemariku, bibi menatap kosong ke arahku dengan angka yang tetap tidak hilang dari dahinya. Kemudian segala sesuatu menjadi gelap.

***

Aku terbangun dari tidurku. Cahaya terang menusuk-nusuk mataku, mau tidak mau aku harus membukanya. Aku terkejut, aku terbangun di ruangan putih seorang diri. Apakah ini surga? Apakah aku sudah benar-benar mati? Mana bibi, apakah ia berhasil selamat?

Tiba-tiba datang dua orang petugas berseragam polisi serta seorang dokter.

“Nona, anda didakwa atas kasus pembunuhan pria yang terbunuh di terminal, kecelakaan pejabat kota serta tewasnya wanita paruh baya di apartemen anda” Ucap salah satu petugas polisi itu.

Apa katanya, aku didakwa. Yang benar saja.

“Maaf pak, tapi saya tidak mengerti dengan apa yang anda katakan?” Ucapku dengan raut wajah bingung.

“Baiklah, putarkan saja videonya!” Ujar petugas polisi tadi kepada rekan di sebelahnya.

Di sinilah aku menyaksikan diriku di layar video cctv itu. Rekaman itu menunjukkan aku keluar dari busway menuju toilet. Kemudian aku keluar dari toilet dengan menggunakan pakaian serba tertutup dan masker untuk menutupi wajahku. Aku membawa sebuah pisau dalam genggamanku. Selanjutnya, rekaman CCTV dari sudut terminal menunjukkan aku menusuk pria busway itu dari belakang dan menendang kekasih wanitanya. Kemudian aku menyeret pria itu menuju gudang.

Aku terdiam, menatap video rekaman itu tidak percaya. Bagaimana aku melakukannya, aku sama sekali tidak ingat. Namun di video itu menunjukkan dengan jelas bahwa itu aku.

“Lalu bagaimana kalian juga mendakwaku atas kecelakaan pejabat itu?” Tanyaku bingung, masih berusaha mencerna semua informasi tersebut.

“Ada rekaman CCTV dari sudut taman yang merekam anda sedang memotong kabel rem mobil yang ditumpangi sang pejabat, perlu saya perlihatkan nona?” Tanya si petugas.

“Tidak perlu!” Aku tidak ingin melihatnya. Semakin aku melihatnya malah semakin membuatku bingung.

“Lalu, bagaimana dengan kematian bibiku, bukankah tidak ada CCTV di apartemenku?” tanyaku menyelidik.

Si petugas melanjutkan. “Sidik jari yang ditemukan di pisau yang menyebabkan bibimu tewas, adalah milikmu.” 

“Tidak, aku tidak pernah melakukannya. Kalian pasti salah tangkap!” Aku memberontak. Ini adalah hal tergila yang pernah aku alami. Bagaimana bisa aku membunuh orang sedangkan aku sendiri tidak pernah melakukannya.

“Anda memiliki riwayat penyakit issociative identity disorder (DID) nona. Ini merupakan penyakit dimana anda memiliki lebih dari satu kepribadian. Jika dilihat dari sikap dan rekasi anda, pelaku pembunuhan itu adalah kepribadian anda yang lain. Ini yang membuat anda tidak ingat bagaimana pembunuhan itu terjadi." Kali ini wanita yang berseragam dokterlah yang menjelaskan.

Ia melanjutkan, “kepribadian lain muncul saat anda merasa marah, sedih, kesal, cemas atau tertekan. Riwayat kesehatana anda mencatat bahwa anda sudah melakukan pengobatan selama satu setengah tahun dan keadaan anda membaik hingga anda diperbolehkan pulang. Namun ternyata kondisi anda belum sepenuhnya pulih. Saya rasa kita harus melakukan perawatan itu kembali nona agar anda bisa mengendalikan alter ego anda.”

DID? Alter ego? Penjelasan ini membuatku muak. Yang aku tau aku tidak pernah membunuh dan akan tetap seperti itu. Aku tidak mungkin membunuh. Mereka pasti pembohong. Persetan dengan rekaman itu. Aku tidak berbohong!

Aku menjerit kalap. Aku tidak dapat mengendalikan diriku, aku begitu marah. Kutatap ketiga wajah orang dihadapanku. Aku melihatnya lagi, angka di dahi masing-masing dari mereka. Aku menyeringai.


[13.13]

Breaking News: Di laporkan dua petugas polisi serta seorang dokter tewas karena serangan tersangka dari 3 kasus pembunuhan. Pelaku berhasil kabur dan statusnya kini menjadi buronan kota.

 ***

Penulis: Riska Aprilia

Editor: Istantya Ningrum

***

FunfactKronos diambil dari bahasa yunani, kata ini bermakna waktu yang dapat diukur dengan jam, hari, tanggal, bulan, tahun dan sebagainya; baik sebagai waktu jangka pendek seperti sekejap mata

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !