CERITA DI KAMPUNG PULO

0

 Oleh : Atik Azzahra Nurfadillah 

Sumber : Pinterest 

Ketika saya melamun di depan teras rumah dan ibu tengah menyiram tanaman di halaman rumah kemarin sore, seekor kucing mungil mendadak menghampiriku dan duduk manja di kursi sebelah. Seekor kucing mungil berbulu oranye di seluruh badanya, bermata belo. Saya meyakini bahwasannya kucing itu adalah sejenis kucing kampung yang sengaja dibuang pemiliknya karena tidak ingin merawat anak kucing itu. Anak kucing oranye itu mengingatkan saya pada kisah kucing oranye di kontrakan dulu. 

Sekitar 10 tahun lalu, saya masih berada di bangku sekolah kelas satu SMP, saya tinggal bersama orang tua di Surabaya dan bertempat tinggal di kontrakan yang berada di ujung gang sempit, jaraknya kurang lebih dua kilo meter dari sekolah. Kami tinggal di rumah sederhana yang hanya mempunyai dua kamar. Satu kamar untuk ayah dan ibu, serta saya bersama adik. Saya dan adik mendapat kamar paling depan dengan jendela di ujung kamar yang cukup lebar. Jika jendela itu dibuka, saya dapat melihat pemandangan rumah tetangga depan melui kaca kamar yang cukup lebar, hingar bingar warga kampung gang Pulo yang ramai, teras sempit dan halaman rumah berupa gang sempit. Gang Pulo merupakan tempat tinggal masyarakat rantau yang berlokasi di Surabaya bagian barat.

Keluarga kami tidak begitu akrab dengan tetangga baik tetangga depan dan sebelah, kami sangat tertutup. Kami hanya mengenal namanya, dan ketika saling berjumpa hanya tersenyum tidak ada percakapan lanjutan maupun basa-basi. Setiap pagi, gang Pulo selalu ramai dengan percakapan ibu-ibu berbelanja dan bergosip ria. Orang tua yang sering meneriaki anaknya yang akan berangkat sekolah, penjual roti yang menjajakan dagangannya, dan yang membuat saya jengkel adalah penjual air dengan teriakan nyaringnya.

Diantara tetangga kami di gang Pulo, yang paling saya kenal adalah tetangga depan rumah yakni seorang kakek nenek tua kisaran tujuh puluh tahun bernama kakek Salam dan nenek Beti. Mereka adalah kakek nenek paruh baya yang tinggal berdua, kabarnya anak-anak mereka tengah merantau di Jakarta. Kakek Salam memiliki banyak peliharan untuk menghibur masa tuanya, salah satunya adalah kucing-kucing kampung liar yang ia adopsi. Kakek Salam berdalih kasian melihat kucing-kucing kampung terlantar yang selalu mendapat perlakuan kasar dari warga kampung gang Pulo, padahal kucing-kucing itu hanya ingin sedikit sisa makanan.

Menurut cerita warga sekitar, kakek Salam dan nenek Beti sangatlah misterius. Kakek Salam dan nenek Beti yang dilihat warga tidak memiliki pekerjaan dan suka bersantai bersama kucing-kucingnya, terlihat adem ayem tidak ada kegelisahan mengenai masalah ekonomi, tidak seperti halnya warga kampung gang Pulo pada umumnya. Anak kakek Salam juga tidak pernah terlihat mengunjungi kediaman orang tuanya. Konon warga mengira, kakek Salam dan nenek Beti memiliki sikap misterius karena mereka menganut ajian ilmu hitam berupa pesugihan yang dianggap bisa mejadikan penganutnya kaya raya. Itu hanyalah cerita, yang saya tidak tahu akan kebenarannya, yang saya ketahui hanyalah kakek Salam dan nenek Beti suka dengan hewan peliharaan, banyak jenis hewan di rumahnya antara lain ada sekitar sepuluh kucing kampung liar yang ia adopsi. Serta ada beberapa burung, saya tidak mengetahui jenis burung apa yang dipelihara kakek Salam namun sarangnya digantungkan di langit-langit teras rumah.

Setiap hari, terutama setiap pagi kicauan burung dan ngeongan kucing menggema di rumah kakek Salam bersautan dengan hingar-bingar penduduk gang Pulo. Burung-burung dan kucing-kucing itu sekan meminta jatah sarapan pagi kepada sang juragan. Setiap pagi kakek Salam dengan telaten bergantian menjemur burung-burung peliharaan miliknya di tepi jalan gang Pulo yang sempit, terkadang sarang-sarangnya digantungkan di pagar rumah. 'Yang penting kena panas matahari pagi'. kata kakek Salam pada suatu pagi. 

Setiap pagi kakek Salam rajin membersihkan kendang burung dengan mengeruk tahi-tahi di bawah kurungan itu lalu membuangnya di selokan. Kucing-kucing kakek Salam terkenal sangat nakal, banyak warga yang mengeluh sepeda motonya terkena kencing kucing peliharaan kakek Salam, ada juga keluhan salah satu warga gang Pulo yang membuat saya tertawa yakni ikan tongkol satu-satunya yang ada di dapur dan dicuri oleh kucing kakek Salam. Dan keluhan yang paling sering adalah aroma pesing akibat bau tahi-tahi burung dan kucing yang kakek salam buang di selokan melebur menjadi satu di gang Pulo. Aroma itu sangat semerbak, terutama di kamar saya dan adik karena menghadap langsung di selokan milik kakek Salam. 

Keluarga kami sebenarnya merasa sangat tidak nyaman tinggal di kampung gang Pulo. Kami dengan terpaksa pindah tempat tinggal karena ayah memilih menjual rumah lama untuk membayar hutang-hutang bank yang menjerat keluarga kami. Alasan ayah memilih gang Pulo sebagai rumah sementara kami selain murah, jarak rumah dengan sekolahku dan adik yang lumayan dekat serta pekerjaan ayah yang dituntut berpindah-pindah tempat sehingga gang Pulo merupakan pilihan yang tepat untuk tempat tinggal sementara kami. Keluarga kami merasa kurang nyaman dan kurang terbiasa dengan sifat dan perilaku tetangga yang bising. Di depan kami mereka tampak tidak banyak berbiacara, tetapi saya dapat melihat mereka saling akrab satu sama lain. Kakek Salam dan nenek Beti yang sibuk dengan hewan-hewan peliharaannya. Serta tetangga lain yang sibuk dengan kesibukannya. 

Pada suatu sore, kakek Salam dan tante Meri terlibat adu mulut karena perkara kucing kakek Salam yang berkali-kali mengganggu hamster-hamster peliharaan milik tante Meri. Mereka sama-sama beradu mulut sehingga menjadi tontonan warga sekitar khusunya gang Pulo. Pertengkaran tersebut dilerai oleh ketua RT yang langsung turun tangan menyelesaikan pertengkaran itu. Pertengkaran konyol itu bukanlah sekali dua kali tetapi hampir setiap hari, dan paling banyak dikarenakan kucing-kucing nakal milik kakek Salam. Sampai di suatu siang, dua kucing oranye kesayangan milik kakek Salam ditemukan mati di bawah pohon mangga milik pak RT. Tanpa banyak omong kakek Salam langsung datang ke rumah tante Meri dan menggedor-gedor rumah tante Meri. Kakek Salam bersikeras bahwasannya tante Meri yang sengaja meracuni kedua kucing kesayangan kakek Salam. Tante Meri bersikeras bahwasannya bukan dia yang membunuh kucing yang malang itu, meskipun ia membenci kucing milik kakek Salam tetapi ia masih memiliki rasa kasihan terhadap hewan. 

Perseteruan itu akhirnya berakhir dengan robohnya tubuh tua kakek Salam, siang itu juga kakek Salam dilarikan di rumah sakit, petang harinya kami mendapat kabar bahwasannya kakek Salam sudah tidak ada. Kerabat-kerabat jauh Kakek Salam mulai berdatangan dan juga anaknya yang kabarnya merantau di Jakarta tiba-tiba datang. Para tetangga yang melayat mengatakan bahwasannya kakek Salam meninggal dikarenakan serangan jantung. Diantara kerumunan itu, terlihat tante Meri dengan wajahnya yang penuh sesal. Meski tidak ada yang mengatakan bahwa penyebab kematian kakek Salam adalah tante Meri, tetapi wajah tante Meri menyiratkan akan hal itu. Tujuh hari berselang setelah kematian kakek Salam, kini rumahnya tak seramai dulu, tidak ada lagi kicauan dan ngeongan saat pagi hari, istrinya yakni nenek Beti kini mengikuti jejak anaknya ke Jakarta. Yang tersisa hanyalah hingar bingar ibu-ibu gosip dan penjual air yang mengganggu telingaku. 

Dari semua kejadian itu, terdapat satu pertanyaan 'siapa yang meracuni kedua kucing oranye yang malang itu yang mengantarkan kakek Salam ke ajalnya?'. Namun tidak ada titik terang yang muncul. Lamban laun pertanyan itu tergerus waktu. Sampai pada suatu malam, semua hamster-hamster peliharaan tante Meri tiba-tiba dikabarkan mati tanpa sebab. Karena persitiwa itu tante Meri yang dikenal periang kini menjadi begitu pendiam. Kejadian itu berlangsung begitu saja, seperti kejadian lain yang menjadi kadaluarsa untuk diperbincangkan. Namun banyak warga yang berpendapat bahwa tante Meri lah yang merencanakan semuanya, tante Meri dianggap sengaja meracuni kedua kucing oranye kesayangan kakek Salam. Karena kudua kucing oranye itu sering datang ke rumah tante Meri dan mengacak-acak kendang hamster miliknya. Kematian hamster milik tante Meri merupakan kemarahan arwah dari kakek Salam. Namun sampai detik ini, saya belum mengetahui persis siapa yang sengaja meracuni kedua kucing oranye peliharaan kakek Salam dan matinya hamster-hamster tante Meri. 

Kucing oranye di sebelah saya, membuat saya bertanya-tanya dan mengingat kejadian 10 tahun lalu di gang Pulo. 'Tentang bagaimana kucing-kucing dan burung-burung peliharaan kakek Salam, siapa yang merawatnya? Bagiamana kabar kontrakan sekarang siapa yang menempati?'. Tiba-tiba lamunanku sirna karena anak kucing yang saya belai disebelah mendadak lari entah kemana. Sampai detik ini saya sangat mengingat dengan baik peristiwaperistiwa lucu, senang, dan sedih ketika saya dan keluarga masih mengontrak di gang Pulo Surabaya barat. Cerita itu masih sangat rapi saya simpan di benak hingga sekarang, dan sudah sangat kadaluarsa untuk diceritakan kepada orang lain.

Editor : Fitri Rahma Fadhila 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !