[Resensi Buku] Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa

0
Buku Pengakuan Pariyem
(Sumber gambar: openlibrary.org)

Identitas Buku

Judul : Pengakuan Pariyem

Pengarang : Linus Suryadi AG

Penerbit : Sinar Harapan Jakarta, KPG

Tahun Terbit : 1981

Jumlah Hal. : 314

Genre : Prosa Lirik

ISBN : 978-979-91-0910-1


Sinopsis

Sebuah novel Pengakuan Pariyem, berlatar tahun 1970-an pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX. Pariyem adalah seorang wanita Jawa yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga bangsawan bernama Raden Tumenggung Cokro Sentono. Awal pertama, dimulai dengan kisah asal-usul Pariyem dari Wonosari, sebuah desa di perbatasan timur Yogyakarta, dengan Pegunungan Seribu yang nampak kering dan tandus di Gunung Kidul, pulau Jawa. Bekerja di Ngayogyakarta yang berusia 25 tahun, di sana Pariyem lahir, besar, dan mengalami masa kecil yang bahagia. Pariyem mengaku Katolik, identitas agama umum dari mereka yang berada di sana setelah usia 66 tahun untuk menghindari kecurigaan sebagai komunis.

Sebagai keluarga yang lekat dengan kesenian rakyat-ayahnya pemain ketoprak, sedang ibunya seorang sinden-tidak diragukan lagi mereka dapat menjadi sasaran primer pembantaian, walaupun keluarga Pariyem tidak memahami apa-apa mengenai politik Jakarta. 

Di era tahun 1980-an yang masih marak dengan fenomena petrus (penembakan misterius), hal tersebut mengilhami Linus untuk membaca ulang pembantaian pasca 66 menggunakan novel ini. Dalam peristiwa yang mengerikan telah berulang, menggunakan cover yang lebih rapi serta gelap. Kemudian, melaporkan kesana kemari, dan orang tua Pariyem hanyalah seorang petani, “kan tetapi hanya menggarap bengkok pak Sosial” ujar Pariyem. Yang awalnya seniman menjadi buruh tani.

Suasana Jawa yang kental menyelimuti seluruh novel. Dari kelahiran Pariyem hingga kehidupan di kota sebagai seorang babu. Linus juga menghadirkan potret Jawa modern yang bercerita tentang dua anak Raden Cokro Sentono, yakni Raden Bagus Ario Atmojo dan Ndoro Putri Wiwit Setiowati. Mereka berkuliah, menjadi mahasiswa pascasarjana, memasang potret idola di dinding kamar mereka, merokok, serta berkeliling dan bepergian ke daerah terpencil Yogya dengan sepeda motor, layaknya anak jaman sekarang yang suka dengan hal baru.

Khas keluarga Jawa modern terasa pas dan tentunya menemukan penyesuaian modernisasi yang tidak melupakan tradisi. Atmojo yang pandai memainkan pantun dan Setiowati yang pandai menari. Seperti semua yang mereka miliki, itu adalah kebalikan dari modernisasi yang melanda kota Yogyakarta pada 1980-an. Jaman sekarang, akan tetapi kosong dan tidak lagi berjiwa.

Dalam masa pengabdiannya, dia menjalin interaksi asmara dengan Raden Bagus Ario Atmojo, putra sulung majikannya. Di sana, dia hamil sesudah melakukan interaksi seksual bersama anak Ndoro Kanjeng, Den Bagus Ario. Wiwit Setiowati, adik dari Ario Atmojo merupakan orang pertama yang mengetahui mengenai kehamilan Pariyem. Kejadian itu kemudian dilaporkan ke orang tuanya tanpa sepengetahuan Pariyem. Dari peristiwa tersebut, sebenarnya Pariyem justru tidak meminta pertanggungjawaban dari Ario Atmojo.

Di malam itu, setelah makan Pariyem dipanggil oleh Raden Tumenggung Cokro Sentono. Ia di sidang tiba-tiba. Pariyem merasa takut dan risau sehingga muncul pikiran yang buruk. Ia berpikir, jika akan disuruh pergi oleh majikannya. Akan tetapi, pikiran itu salah. 

Menanggapi kehamilan yang menyangkut anak lelakinya itu, Ndoro Kanjeng memutuskan bahwa dia bisa menyelesaikan masalah secara damai. Pariyem dibawa kembali ke Wonosari hingga melahirkan. Setelah itu, ia diminta kembali ke Yogyakarta untuk bekerja seperti biasa. Di sisi lain, anak yang lahir adalah anak dari Den Bagus Ario. Meski belum menikah, mereka diakui sebagai anggota keluarga Cokro Sentono dengan berbagai syarat.

Syaratnya, Pariyem harus tinggal di rumahnya yang terletak di Wonosari, Gunung Kidul selama hamil sampai melahirkan. Setelah anaknya berusia satu tahun, Pariyem harus meninggalkan anaknya itu dan kembali bekerja. Pariyem menyetujui hal itu, tetapi yang paling sulit bagi seorang ibu adalah meninggalkan sang anak. Oleh karena itu, ia rela datang dan pergi ke Wonosari, Yogyakarta setiap bulan atau bahkan terkadang setiap minggu untuk menjenguk anak tunggalnya itu.

Kelebihan Buku

Novel karya penulis ternama Linus Suryadi AG ini sangat bagus karena berkisah tentang seorang wanita Jawa bernama Magdalena Maria Pariyem. Novel ini identik dengan nilai-nilai moral yang sangat baik karena memiliki banyak pengetahuan tentang budaya Jawa. Meskipun dalam novel menggunakan bahasa jawa, tetapi di novel ini sudah ada artinya dalam bahasa Indonesia. Jadi, tidak perlu bingung jika tidak mengerti artinya.

Kekurangan Buku

Novel Pengakuan Pariyem ini memiliki bahasa yang kurang dimengerti oleh pembacanya. Meskipun dihalaman belakang sudah ada terjemahannya. Akan tetapi, lebih baik jika terjemahannya ada di bawah cerita tersebut, layaknya catatan kaki.


Oleh : Novia Ramadhani S.

Editor : Nuzurul Rochmah


Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !