Memilih Bahagia

0

 Oleh: Dita Rahma Nur Cahyani

(Sumber gambar: yayasanpulih.org)


Hujan baru saja reda. Aroma khas tanah yang terkena air menggelitik hidung. Aromanya tak pernah berubah, selalu manis. Aku sudah memakai pakaian tari. Sebentar lagi aku berangkat. Ini adalah kompetisi yang sangat penting. Jalanku menuju ke tingkat internasional. Sejak kecil, aku sudah hidup di sanggar. Berbagai kompetisi telah aku ikuti. Puluhan piala telah aku dapatkan.

Aku memilih tari bukan karena itu hobiku, bukan juga karena bakatku. Tapi karena aku menyukainya. Aku suka menari. Dan aku ingin terus menari.

Aku mendapat piala pertamaku di kelas 6. Lomba antar daerah. Aku masih ingat jelas perasaanku saat itu. Aku merasa sangat terpuaskan. Hal itu terjadi berulang-ulang. Setiap aku memenangkan lomba, aku akan merasa seperti itu. Tapi, entah sejak kapan aku mulai merasa muak. Aku muak harus latihan setiap hari. Aku muak harus ikut kompetisi. Dan aku ingin berhenti. Aku tidak ingin ikut kompetisi lagi. Aku hanya ingin menari untuk diriku sendiri.

"Ra, udah jam 8. Udah waktunya berangkat." "Iya, Ma" Hari ini aku diantar Mamaku. Hanya kita berdua. Bu Diyah, guru tariku akan menunggu di tempat perlombaan. Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di tempat lomba. Jalanan tidak terlalu macet. Kita sampai tepat waktu. Di sana puluhan peserta padat memenuhi seisi gedung.

Wajah itu lagi. Wajah penuh pengharapan. Sekarang ini, aku membenci hal itu lebih dari apapun. Tapi Mama dan Bu Diyah akan selalu menampilkan raut wajah itu. Lebih buruk lagi, itulah satu-satunya alasan aku bertahan untuk tetap berkompetisi. Mama dan Bu Diyah tersayang. Huh, bahkan aku tidak bisa membayangkan mereka akan kecewa karenaku.

Setiap peserta punya tempat sendiri untuk persiapan dan berganti baju. Dan di sinilah kita. "Ra, kamu udah siap kan? Jangan gugup, Ibu percaya kamu pasti bisa." Kata Bu Diyah meyakinkan.

Dulu, kalimat itulah yang membuatku bisa memenangkan lomba. Kalimat itu tidak rumit, tapi punya kekuatan besar untukku. Tapi itu dulu. Sayangnya, kalimat itu tidak bertahan lama. Karena ternyata sekarang aku juga sudah muak dengan kalimat itu.

Tepat pukul 10 perlombaan dimulai. Kurang 30 menit lagi. Rasanya aku enggan untuk tampil. Waktu berjalan cepat. Perlombaan telah dimulai. Satu persatu nama peserta dipanggil. Dan tiba giliranku. "Nara, peserta nomor 10." Aku berjalan menuju panggung.

Di sana ada banyak penonton dan 3 juri. Aku mulai menari, tapi tatapan para penonton mulai menggangguku. Aku berusaha menepisnya. Aku melanjutkan tarianku. Kemudian tatapan mengintimidasi dari para juri mulai mengusikku. Tapi aku tahu aku tidak boleh berhenti. Aku terus menari. Lalu aku melihat Mama dan Bu Diyah.

Aku tidak bisa melanjutkan ini. Dan pada detik itu juga aku memutuskan berhenti. Seluruh ruangan riuh. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi. Kenapa aku tiba-tiba berhenti. Semua mata tertuju padaku. Mereka menatapku aneh. Aku menghela nafas panjang. Aku membungkuk, lalu meninggalkan panggung.

Mama dan Bu Diyah menyusulku ke ruanganku. Aku kembali menghela nafas panjang. Mereka tidak mengatakan apapun. Tapi aku bisa tahu bahwa mereka juga pasti sangat penasaran. Kenapa aku bisa melakukan ini. Yang mana kompetisi ini adalah kompetisi penting bagiku. Selangkah lagi aku bisa menuju ke tingkat internasional. Dan karirku akan sangat baik.

"Ma, Bu, aku minta maaf. Tapi aku merasa inilah yang terbaik. Aku memutuskan menari karena aku menyukainya. Aku bahagia. Tapi sekarang aku tidak bahagia." Aku menjelaskan lebih dulu. Karena aku tahu itulah yang mereka harapkan.

Mereka tetap diam. Hening beberapa menit. Sampai Mama angkat bicara. "Ra, Mama nggak marah, kalo ini yang kamu mau, dan bisa bikin kamu bahagia, Mama akan tetap mendukung." Perkataan Mama lembut, tapi ada rasa kecewa di sana.

"Ibu bangga sama kamu, Ra. Kamu berani mengambil keputusan besar dalam hidup”, kata Bu Diyah. Yah, aku tahu mereka kecewa, tapi sekecewa apapun mereka padaku, mereka akan tetap berdiri di sampingku untuk mendukungku.

Setiap orang pasti pernah mengalami masa sulit. Berhadapan dengan pilihan yang sulit. Untuk itu, penting bagi mereka mengetahui apa yang mereka inginkan. Dan buatku, ini yang aku inginkan. Aku tidak akan berhenti menari. Aku akan terus menari untuk diriku sendiri. Tapi karirku berhenti di sini. Dan setelah sekian lama, akhirnya aku bisa merasakan rasa puas yang sama seperti dulu.

 

Editor: Nuzurul Rochmah

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !