Oleh: Dita Rahma Nur Cahyani
(Sumber gambar: yayasanpulih.org)
Hujan baru
saja reda. Aroma khas tanah yang terkena air menggelitik hidung. Aromanya tak
pernah berubah, selalu manis. Aku sudah memakai pakaian tari. Sebentar lagi aku
berangkat. Ini adalah kompetisi yang sangat penting. Jalanku menuju ke tingkat
internasional. Sejak kecil, aku sudah hidup di sanggar. Berbagai kompetisi
telah aku ikuti. Puluhan piala telah aku dapatkan.
Aku memilih
tari bukan karena itu hobiku, bukan juga karena bakatku. Tapi karena aku
menyukainya. Aku suka menari. Dan aku ingin terus menari.
Aku mendapat piala pertamaku di kelas 6. Lomba antar daerah. Aku masih ingat jelas
perasaanku saat itu. Aku merasa sangat terpuaskan. Hal itu terjadi
berulang-ulang. Setiap aku memenangkan lomba, aku akan merasa seperti itu.
Tapi, entah sejak kapan aku mulai merasa muak. Aku muak harus latihan setiap
hari. Aku muak harus ikut kompetisi. Dan aku ingin berhenti. Aku tidak ingin
ikut kompetisi lagi. Aku hanya ingin menari untuk diriku sendiri.
"Ra,
udah jam 8. Udah waktunya berangkat." "Iya, Ma" Hari ini aku
diantar Mamaku. Hanya kita berdua. Bu Diyah, guru tariku akan menunggu di
tempat perlombaan. Butuh waktu kurang lebih satu jam untuk sampai di tempat
lomba. Jalanan tidak terlalu macet. Kita sampai tepat waktu. Di sana puluhan
peserta padat memenuhi seisi gedung.
Wajah itu lagi. Wajah penuh pengharapan. Sekarang ini, aku membenci hal itu lebih dari apapun. Tapi Mama dan Bu Diyah akan selalu menampilkan raut wajah itu. Lebih buruk lagi, itulah satu-satunya alasan aku bertahan untuk tetap berkompetisi. Mama dan Bu Diyah tersayang. Huh, bahkan aku tidak bisa membayangkan mereka akan kecewa karenaku.
Setiap
peserta punya tempat sendiri untuk persiapan dan berganti baju. Dan di sinilah
kita. "Ra, kamu udah siap kan? Jangan gugup, Ibu percaya kamu pasti bisa."
Kata Bu Diyah meyakinkan.
Dulu,
kalimat itulah yang membuatku bisa memenangkan lomba. Kalimat itu tidak rumit,
tapi punya kekuatan besar untukku. Tapi itu dulu. Sayangnya, kalimat itu tidak
bertahan lama. Karena ternyata sekarang aku juga sudah muak dengan kalimat itu.
Tepat pukul
10 perlombaan dimulai. Kurang 30 menit lagi. Rasanya aku enggan untuk tampil.
Waktu berjalan cepat. Perlombaan telah dimulai. Satu persatu nama peserta
dipanggil. Dan tiba giliranku. "Nara, peserta nomor 10." Aku berjalan
menuju panggung.
Di sana ada
banyak penonton dan 3 juri. Aku mulai menari, tapi tatapan para penonton mulai
menggangguku. Aku berusaha menepisnya. Aku melanjutkan tarianku. Kemudian
tatapan mengintimidasi dari para juri mulai mengusikku. Tapi aku tahu aku tidak
boleh berhenti. Aku terus menari. Lalu aku melihat Mama dan Bu Diyah.
Aku tidak
bisa melanjutkan ini. Dan pada detik itu juga aku memutuskan berhenti. Seluruh
ruangan riuh. Mereka bertanya-tanya apa yang terjadi. Kenapa aku tiba-tiba
berhenti. Semua mata tertuju padaku. Mereka menatapku aneh. Aku menghela nafas
panjang. Aku membungkuk, lalu meninggalkan panggung.
Mama dan Bu
Diyah menyusulku ke ruanganku. Aku kembali menghela nafas panjang. Mereka tidak
mengatakan apapun. Tapi aku bisa tahu bahwa mereka juga pasti sangat penasaran.
Kenapa aku bisa melakukan ini. Yang mana kompetisi ini adalah kompetisi penting
bagiku. Selangkah lagi aku bisa menuju ke tingkat internasional. Dan karirku
akan sangat baik.
"Ma, Bu, aku minta maaf. Tapi aku merasa inilah yang
terbaik. Aku memutuskan menari karena aku menyukainya. Aku bahagia. Tapi
sekarang aku tidak bahagia." Aku menjelaskan lebih dulu. Karena aku tahu
itulah yang mereka harapkan.
Mereka tetap diam. Hening beberapa
menit. Sampai Mama angkat bicara. "Ra, Mama nggak marah, kalo ini yang
kamu mau, dan bisa bikin kamu bahagia, Mama akan tetap mendukung."
Perkataan Mama lembut, tapi ada rasa kecewa di sana.
"Ibu bangga sama kamu, Ra. Kamu berani mengambil keputusan besar dalam hidup”, kata Bu Diyah. Yah, aku tahu mereka kecewa, tapi sekecewa apapun mereka padaku, mereka akan tetap berdiri di sampingku untuk mendukungku.
Setiap orang
pasti pernah mengalami masa sulit. Berhadapan dengan pilihan yang sulit. Untuk
itu, penting bagi mereka mengetahui apa yang mereka inginkan. Dan buatku, ini
yang aku inginkan. Aku tidak akan berhenti menari. Aku akan terus menari untuk
diriku sendiri. Tapi karirku berhenti di sini. Dan setelah sekian lama,
akhirnya aku bisa merasakan rasa puas yang sama seperti dulu.
Editor: Nuzurul
Rochmah