Asa

0

(Sumber gambar: Pinterest)

Langkah kaki yang berjalan perlahan menuju ruang tamu mulai terdengar. Ia merasa khawatir dengan orang tuanya. Yang pergi tanpa pamit. Handphone nya tidak menampakkan notifikasi dari keluarganya. Ia menjadi gelisah sendiri, pikirannya ke mana-mana.

Tok tok!!

Kutengadahkan kepalaku ke atas, melihat jam. Dari balik jendela, tak kudapati seorang pun di luar rumah yang mengetuk pintu barusan. Berpikir tentang siapa yang tengah mengetuk pintu dini hari begini membuatku bergidik ngeri. Kutinggalkan jendela samping pintu, menuju ke kamar dan bergelung dalam hangatnya selimut. Terdengar kegaduhan dari balik pintu utama. Semakin kurapatkan selimutku menghiraukan suara luar. Bersyukur kututup pintu kamar.

***

“Andaikan kubuka pintu itu akankah semua ini berubah? Akankah ada seseorang yang selamat? Atau aku akan bernasib sama?” Begitu banyak pemikiran berkecamuk di benaknya. Ia menyesal, sungguh. 

Tidak seorang pun yang sanggup menjawab segala pertanyaan ini. Mereka yang melihat hanya membeku, dirinya bahkan tak dapat meraup udara bebas. 

Tidak ada yang dapat menghentikannya, sedangkan suara itu, kisah pilu itu, secara perlahan mulai memenuhi pikiran dan menyiksa. Rasanya seperti sudah mati, tidak ada tangis yang menghiasi. Hingga ke pemakaman tatapannya pun kosong. 

Langkah demi langkah mulai perlahan menjauh dari tanah basah yang bertabur bunga. Kembali pada tempat bermula, sama saja menakutkannya. Entah ke mana tapak itu melangkah. Bukan tanpa alasan ia memilih pergi. Ia sadari, berdiam diri tidak akan membawa perubahan. Sudah cukup semua ini, nyatanya segalanya telah berubah. Keyakinan pada Tuhan masih ia genggam erat. Harapanlah yang ia miliki, bukan hal tanpa makna dan dusta. Sebuah lentera dengan cahaya yang redup tetap dapat menjadi setitik harapan. Lights will guide you home. 

“Aku mau...” Jawaban tanpa keraguan, seketika membuat hati sedikit lega. 

***

Beberapa waktu berlalu. Kala mengingat tentang hari itu, hati terasa tertikam. Sempurna. Terbelenggu menyayat kejam. Bahkan untuk seseorang yang hanya menatap dari kejauhan. Tak sanggup membayangkan apalagi mengalaminya dalam kehidupan. Berterima kasih anak perempuan itu tidak melihat sendiri dengan kedua bola matanya. 

Seorang lelaki melangkahkan kakinya perlahan memasuki sebuah rumah. Tempat di mana anak-anak membagikan kisah mereka dan tumbuh. Ia mengambil tempat di sebuah dudukan kursi kayu. Jemarinya mengetuk-ngetuk dataran meja, berharap mengurangi perasaan gugupnya. Wajahnya datar menatap satu titik fokus di depan sana. 

“Cantik” Ucapnya dalam hati. 

Sesulit apa pun hidup, ia meyakini harapan pasti tetap ada. Ini semua bukan tentang banyaknya luka yang tertorehkan, tetapi juga pendewasaan. 

Aska mengalihkan pandangannya dari gerombolan anak-anak muda yang tertawa riang berlari. Seorang perempuan paruh baya datang menghampirinya. Ia balik menatap pemilik dari tempat itu. “Kau menemukannya, berkatmu juga dia bisa sedikit tertawa,” Ucap pemilik tempat itu, beralih menatap objek yang Aska tatap tadi. Asa, nama anak perempuan itu. Nama Asa itu berarti harapan. Seperti namanya pula, ia menjadi penyembuh untuk dirinya sendiri.

Penulis: Auliyah Sindi Maheswari

Editor: Intan Handita K


 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !