Memilih Bertahan

0


(Sumber Gambar: Kapanlagi Plus.com)

Hidup tidak adil bagi semua orang. Seberapa keras kita mencoba, kegagalan tidak bisa dihindari. Seburuk apapun hari kita, waktu tetap saja berjalan. Saat kita sedih, mungkin saja diujung lain dunia ada seseorang yang sedang berbahagia. Itulah kehidupan. 

Banyak orang yang memilih berhenti, ada juga yang memilih bertahan. Dan setiap keputusan yang diambil pasti ada alasannya. 

Dan bagaimana bisa satu kalimat membuat orang bertahan?, kalimat seperti apa itu?, apa istimewanya kalimat itu? Pada kenyataannya, ada beberapa orang yang memilih bertahan hanya untuk sekedar mendengarkan kalimat itu diucapkan berulang-ulang. Entah oleh orang terdekat, keluarga, teman, sahabat, atau orang tua. Aku salah satunya. 

"Ibu Anjani, silahkan masuk." Aku terperangah saat suster memanggil namaku. Hari ini aku kembali menemui psikiater. Aku berjalan masuk ke ruang Konsul. Di sana sudah menunggu dokter Tara.

"Silahkan duduk!" Kata dokter Tara. Usianya sudah menginjak 50 an. Tapi dia masih tampak segar. Aku duduk di kursi Konsul.

"Ibu Anjani, coba ceritakan apa yang anda rasakan." Aku tidak tahu harus mulai dari mana, jadi aku memilih diam. "Tidak apa, anda bisa percaya rahasia anda aman di saya. Aku menghela nafas panjang, kuyakinkan diri ini untuk bercerita. 

"Hidup saya tidak terlalu sulit, tidak juga bahagia dok. Terasa sepi, hampa, dan sendirian. Dan sekarang saya lelah."

"Apa yang membuat anda lelah?" Tanya dokter Tara.

"Ada satu kalimat yang saya tunggu akan diucapkan keluarga saya, tapi nyatanya sampai detik ini, kalimat itu masih belum pernah saya dengar."

"Kalau boleh tahu, kalimat seperti apa itu ibu Anjani?" Ada kehati-hatian dalam setiap kalimat yang keluar dari dokter Tara. Wajahnya tenang sekali. Melihatnya membuatku merasa nyaman.

"Mau aku antar? Jangan pergi sendirian! Biar aku antar."

Aku menghela nafas panjang. Ini pertama kalinya bagiku mengutarakan isi hatiku kepada orang lain. Ada kelegaan yang aku rasa.

"Kenapa harus kalimat itu?" Tanya dokter Tara penasaran.

"Sampai saat ini, saya selalu melakukan apapun sendirian. Orang-orang memandang saya seorang yang mandiri. Tapi sebenarnya saya takut. Takut melakukan apapun sendirian. Takut bepergian sendirian."

"Kenapa tidak mencoba meminta mereka mengantar alih-alih menunggu?" Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sekuat tenaga aku menahan air mata yang hampir keluar. Tapi tak berhasil, aku menangis sangat keras. Sekali ini saja, tolong biarkan aku. 

"Kenapa anda menangis?" Tanya dokter Tara saat aku sudah mulai tenang.

"Apa saya tidak boleh menangis dok?"

"Tentu saja boleh, siapapun berhak untuk itu." 

"Ibu Anjani, setelah beberapa kali pertemuan anda diam saja, akhirnya hari ini anda mau bercerita. Saya senang sekali. Saya rasa, ibu harus membiasakan diri untuk mengungkapkan perasaan. Apa yang anda rasakan, apa yang anda inginkan, anda berhak mengutarakan hal tersebut. Dan anda berhak didengarkan. Tapi mereka tidak akan pernah tahu jika ibu tidak mengatakannya." Hening beberapa saat.

"Dokter benar, tidak seharusnya saya diam saja. Selama ini saya menunggu sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Saya lelah karena alasan yang tak pasti."

"Tak apa Bu, ibu hebat bisa bertahan selama ini." Sesi konsultasi berakhir. Aku keluar ruangan dengan perasaan lega. Setelah menyelesaikan administrasi, aku pulang. Itu menjadi konsultasi terakhir ku. Aku tidak pernah lagi menemui dokter Tara. Perlahan aku mulai berani mengutarakan perasaan. Dan ternyata itu tak seburuk yang aku kira. Mereka bahkan dengan senang hati mendengarkan. Mungkin jika aku tak mencoba, aku akan tetap bergelut dengan perasaanku sendiri. Bahkan aku mungkin akan menyerah.

Penulis: Dita Rahma Nur Cahyani

Editor: Intan Handita K


Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !