Tanah Bumantara

0
(Sumber: pinterest)

Batavia lahir akibat mereka yang telah membumihanguskan Jayakarta. Sisa debu abu masih halus dalam penciuman, namun belenggu benteng dan jeruji besi tak menghalangi aksi kebengisannya. Durjana menyerbak menyinari garis cakrawala. Menerjang rongga dedaunan, tanpa pandang bulu, menyebabkan buah pelem tergupuh-gupuh menggulingkan dirinya, di atas tanah Meneer dan Noni penguasa. Bualan dan ejekkan semakin lantang, tatkala kedua iris matanya berpendar, menatap tiga rona kain berbeda, menjulang tinggi dengan angkuh. Hendak menyumpah serapah kaum bertopi cokelat dengan moncong senapan yang selalu teracung. Tetapi, Djongos tetaplah Djongos, dan tunduk pada perintah adalah harga mati. 

Gendhis Sundari sibuk mengangkut pasir di pinggir sungai, sesekali mengusap keringat yang bercucuran tanpa izin. Sang surya sudah berada tepat di atas kepalanya, sebuah simbol bahwa Gendhis harus melaksanakan kewajiban lainnya, mengantar beberapa kudapan untuk para Noni.

“Ndhis! Tolong bawakan ini pada Noni ya, Nduk.” 

Gendhis mendengus pelan. Walaupun pekerjaan ini termasuk mudah, tetapi ia tak sudi melayani para borjuis itu dengan kedua tangannya. Pikirannya mendadak menerawang jauh, teringat seorang pujangga pernah berseloroh, bahwa hidup adalah pilihan, dan sayangnya Gendhis tidak akan pernah memiliki pilihan. 

“Dasar, lemah. Menyiapkan makanan sendiri saja tak mampu. Hidup kok suka banget jadi benalu ya, Mbok?”

“Sudah, Nduk sudah. Cepat kamu antarkan makanannya, nanti mereka keburu marah. Jangan lupa, berdoa sama Gusti Pengeran, biar semuanya lancar.” 

Setelah melakukan ritual sehari-hari; memanjatkan doa, Gendhis bergerak ke tengah hutan belantara, tempat para Meneer dan Noni membangun pemukiman mereka. Pohon besar nan rindang, serta dedaunan kering yang tersebar menemani langkah kakinya yang sengaja ia lambatkan. Gendhis mengatur suaranya agar lebih dalam—menyembunyikan suara khas perempuannya yang nyaring. Sekaligus membenahi kumis palsunya yang bertengger di bawah hidung mancungnya. 

Menyandang pangkat ‘Djongos’ untuk seumur hidup, memaksa Gendhis mengubah segala penampilannya, agar para petinggi itu menganggapnya sebagai seorang lelaki, dan menghindarkannya dari kandidat ‘Gundik’. Dia yakin seluruh perempuan pribumi termasuk dirinya menganggap status tersebut sebagai sebuah neraka dunia. Meskipun, jika dipikirkan lagi, ya kedudukan keduanya kurang lebih sama. Sama-sama jauh dari makna manusia. Tetapi, menghirup udara selama dua puluh tiga tahun menjadi djongos jauh lebih baik, ketimbang harus melayani kaum tak bernurani. 

Gendhis membungkukkan badan di hadapan beberapa tentara, dan mengangkat sedikit nampan miliknya, sebuah tanda agar dia dapat masuk ke dalam sana. Tanpa aba-aba, tubuh mungilnya tersungkur akibat dorongan kuat salah satu Meneer. Alhasil, kuah panasnya sedikit tumpah, membuat bercak kemerahan muncul di sebelah pipi kanannya. 

“Sialan!” batinnya. 

“Heh Djongos! Cepat masuk, jangan sampai membuat Meneer dan Noni kelaparan, atau kepalamu yang akan ku hancurkan. Lantainya bersihkan juga,”

Gendhis mendesis pelan, mengumpulkan kekuatannya kembali dan mengabaikan pipinya yang terbakar. Kedua tangannya membersihkan lantai dengan gemetar, karena amarah yang berkobar jauh di relung hatinya. 

“Kamu hampir sampai, Gendhis. Jangan sampai terbawa emosi, atau mereka akan mengetahui identitas aslimu,” 

Setelah merasa lebih baik dan napasnya kian stabil, Gendhis melanjutkan perjalanannya menuju kamar yang ia tuju. Walaupun dia merasa sesak, tetapi tak dapat dipungkiri, rambut cepaknya asyik menari-nari terbawa semilir udara yang menembus jendela besar di sekitar lorong. 

Kedua alis Gendhis mengerut, di sela-sela ketenangan yang sejenak melingkupinya. Samar-samar lolongan suara perempuan pribumi, memasuki indera pendengarannya. Fokusnya teralihkan, dan netranya terpaku pada salah satu bilik yang sepenuhnya tidak tertutup rapat. Alih-alih merasa takut, rasa khawatirnya terhadap perempuan itu malah semakin menumpuk. 

Tanpa berpikir akibatnya, Gendhis diam-diam mengintip bilik di depannya. Di sana terlihat, dua orang tengah memadu kasih. Saling melolongkan bisikan satu sama lain.

"Hey!" Jantung Gendhis hampir lepas, takala suara teriakan itu menyeruak tepat di belakangnya. Mati saja lah, ia ketahuan mengintip.

"Buat apa kamu di sana? Bukankah sudah saya peringatkan untuk segera melakukan tugasmu?"

"M-maaf, tapi sa-saya—"

"Kamu sepertinya sudah tak menyayangi nyawamu, ya?"

Decitan pintu terdengar, menghentikan perdebatan antara Meneer dengan pribumi. “Ada apa ini?” Suara pertama dari sang pelakon utama terdengar gusar. Gendhis hanya bisa menundukkan kepala, merapalkan doa demi doa diiringi merutuk kepada dirinya sendiri karena sudah bersikap impulsif. 

“Dia mencoba mengintipmu Zwart,”

Zwart—sosok itu mendekat. Menempatkan telapak tangan dinginnya pada permukaan wajah Gendhis, dan berakhir pada kumis palsunya. 

“Mati, sudah riwayatmu, Ndhis!”

Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Niat awal Gendhis yang ingin menolong seseorang, malah memberi undangan musuh untuk mengungkap jati dirinya. Salah satu alis Zwart terangkat heran, tetapi dengan cepat dia menyeringai ke arah Gendhis. “Mau bergabung denganku?” 

“Eh? Tapi dia laki—” Meneer lain belum menyelesaikan pertanyaannya, lelaki bernama Zwart tersebut mengirim tatapan tajam kepadanya, yang berarti dia tak mau di interupsi. 

“Maaf, saya h-harus menjalankan tugas. Tidak baik bila saya lalai dalam pekerjaan saya. Maafkan saya sekali lagi.” 

Bagai jurus seribu bayangan, dia berjalan bahkan hampir berlari, mengenyahkan diri dari kedua lelaki tersebut, sebab alarm alami dalam dirinya sudah berdering sedari tadi. 

Dom meisje” Gumam Zwart yang masih memerhatikan gadis itu dari kejauhan.


Penulis: Dila Lutfiyah
Editor: Intan Handita K
Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !