(Ilustrasi: Pinterest) |
Problema masih
mengudara, mahasiswa masih mempertanyakan bagaimana kejelasannya. Memicu
kemarahan yang bertumpuk, hingga semua menjadi berkecamuk. Para petinggi
organisasi mahasiswa sudah mulai bermunculan, tetapi para petinggi UINSA masih
bersembunyi di balik jabatan. Setelah Muhammad Kesit dari SEMA FAHUM, kru LPM
Qimah mewawancarai DEMA-U atau biasa disebut dengan DEMA Universitas.
Abdul Adhim,
seorang mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Arab yang kini menjadi
Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) ikut berbicara mengenai
permasalahan yang terjadi. Ia bercerita bagaimana awal mula kronologi dari
masalah-masalah yang terjadi.
“Persoalan kampus
2 yang dimana terjadi penutupan kantin, tidak hanya di kampus 2 saja. Akan
tetapi, terjadi juga di kampus 1, yaitu kantin WB (Wisma Bahagia). Kenapa
alasan kantin ditutup? Karena menyongsong PTNBH. Saya tidak tau secara
jelasnya, tetapi sedari awal pembangunan seluruh fasilitas universitas harus
dimaksimalkan dalam segala aspek ataupun pengalokasian tempat untuk keuangan
universitas. Selain itu, bagaimana caranya universitas menyerap keuangan, yang dimana
pemasukan keuangan tidak mengandalkan dari kementerian keuangan Republik
Indonesia. Diantaranya, universitas menyerap keuangan dari luar, dimana dapat
membangun kerja sama dengan Pusat Bisnis atau yang disingkat PUSBI,” terangnya pada
Jumat (26/05).
Pres DEMA itu juga
mengatakan bahwa permasalahan-permasalahan ini, bukan hanya berkaitan dengan
aspek ekonomi saja, mayoritas mahasiswa UINSA mengetahui tentang adanya
pengeluaran yang sangat banyak terkait adanya pembangunan kampus baru, atau
kampus 2 UINSA Gunung Anyar. Dalam wawancara kali ini, kami menemukan persoalan
yang justru lebih kompleks, dan diluar dugaan kami, yakni persoalan hak
tanah.
“Kantin-kantin yang berada diluar kampus UINSA itu mengalami disclaimer tanah, kantin-kantin tersebut sudah ada sejak pembangunan kampus 2 UINSA Gunung Anyar, diperbolehkan adanya kantin tersebut untuk mereka para pekerja yang menjalankan proyek kampus tersebut. Namun seiring waktu, kantin tersebut harus ditutup karena mengusung PTNBH," jelasnya.
"Sebenarnya dalam
pembangunan kampus UINSA, terdapat mafia tanah, Ketika saya melakukan wawancara
dengan pak WAREK (Wakil Rektor) ketika mereka (warga setempat) di ajak
kolaborasi, yang dimana UINSA menyediakan tempat seperti yang dilakukan pada
kampus 1. Mereka justru meminta dibangunkan tempat untuk berjualan, tetapi
tidak ada pemungutan biaya, dan lain-lain. Tentunya itu tidak bisa dilakukan,
karena adanya kebijakan kampus tentang pembagian antara si penjual dan si
penyedia tempat (Univ). Akan tetapi menurut saya yang sangat disayangkan ialah
adanya ketidakselarasan universitas mengenai pemaksimalan kantin sebagai tempat
untuk mahasiswa bersantai-ria,” tambah Adhim.
Terkait akses
jalan di belakang FPK (Fakultas Psikologi dan Kesehatan) juga dipermasalahkan
oleh Adhim, ia menyoroti dan merasa bingung mengapa akses yang di belakang FPK
ditutup. Dalam pengakuannya, Adhim mengungkapkan bahwa ia sudah menanyakan
kepada WAREK 2 (Wakil Rektor 2) dan sangat menyayangkan jawaban dari salah satu
petinggi UINSA tersebut.
“Saya tanyakan bukan hanya terkait kantinnya, tapi juga akses jalan. Akan tetapi, perbedaan jawaban WAREK 2 sangat disayangkan. Beliau justru bilang, dulu saya jalan 700 meter, itu kan bukan sebuah jawaban yang solutif. Persoalannya, pada kemudahan akses jalan bagi teman-teman mahasiswa. Nah, kemarin ketika melakukan survey, sebanyak 500 ribu orang memberi masukan mengenai keluh-kesahnya terkait penutupan jalan di belakang FPK," ujar Adhim.
"Sebenarnya kalau persoalan kantin tidak masalah, memang kita harus menghargai UINSA. Akan tetapi, kalau akses jalan ditutup ini akan memberatkan mahasiswa yang tidak mempunyai kendaraan bermotor. Ini kan sama dengan Gang Dosen yang ada di kampus 1, itu juga sebagai jalan alternatif ke kampus. Maka dari itu, kami sudah upayakan dengan menanyakan langsung ke pihak Rektorat bagaimana solusinya. Sedangkan pintu timur FISIP masih terkendala perizinan, sampai sekarang masih belum di buka. Sudah kami upayakan, tetapi masih belum ada solusi yang konkret dari pihak Rektorat,” Tegasnya.
Terkait
tulisan-tulisan aspirasi mahasiswa yang berada di kampus 2 UINSA Gunung Anyar,
Adhim sebagai seorang Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa juga menanggapi
tulisan aspirasi tersebut. Ia merasa kalimat yang ditulis terlalu frontal, ia
juga mendapat komentar hal yang sama dari Dekan Adab. Akan tetapi, ia tetap mau
menyambungkan representatif dan aspirasi-aspirasi mahasiswa ke Rektorat.
“Dari Bapak Dekan
Adab mengomentari bahwa kalimat yang disampaikan terlalu frontal, tapi saya
dalam hal ini tetap mengupayakan bagaimana menyambungkan komunikasi antara
representasi mahasiswa ke Rektorat. Dalam hal ini, saya tidak bisa membatasi,
karena hal tersebut merupakan keluh-kesah dari teman-teman mahasiswa. Saya juga
menginformasikan ke teman-teman, bahwasanya kalau bisa menyampaikan
narasi-narasi yang berupa sindiran tetap menjaga nama baik UINSA dan tidak
membawa kata-kata kotor.” ujarnya.
Sebagai seorang
Pres, Adhim masih mengupayakan solusi-solusi kepada Rektorat. Ia juga
mengatakan bahwa jika tidak bisa dilakukan dengan upaya-upaya baik, maka ia
akan mengancam dengan tindakan aksi untuk bertemu dengan Rektor.
“Kami mengupayakan
dan mengutamakan audiensi dulu, yaitu audiensi ini saya harapkan bisa menemui
pihak Rektor. Jika upaya-upaya secara baik yang kami lakukan tidak tercapai,
akan ada tindakan aksi, tetapi bukan anarkis. Tindakan ini bentuk asli
keresahan mahasiswa yang ingin bertemu pihak Rektor, kita juga bukan hanya
menuding, tetapi juga mendengar. Kan awalnya audiensi itu, kita mau gak mau
mempertanyakan dan mendengarkan. Namun, jika audiensi tidak tercapai
sebagaimana mestinya, maka mau tidak mau akan ada aksi.” Pungkasnya.
Jika jalan yang baik tidak bisa tercapai, maka aksi turun ke jalan akan dilakukan, itulah yang diujarkan Adhim. Sebuah ketidakadilan dan ketidakjelasan membuat semua menunggu terlalu lama. Jangan biarkan mahasiswa turun, jika itu terjadi, maka ada yang tidak beres dengan suatu kebijakan.
Mahalnya pendidikan setimpal dengan UKT yang diberikan, juga setimpal pula dengan uang yang telah digelontorkan dari doa-doa orang tua yang berharap kesuksesan anaknya. Jangan jadikan mahasiswa sebagai korban dari maruknya para tuan dan puan. Kami hanya ingin menanyakan, ada apa gerangan di balik pintu penuh kerahasiaan?
Penulis: Hanif
Rahmansyah, Fahmy Andhito
Editor: Nuzurul
Rochmah