Ilustrasi: Pinterest.com |
Belum adanya pernyataan resmi dari pejabat kampus terkait permasalahan kampus 2 Gunung Anyar menimbulkan reaksi dan tanda tanya besar dari kalangan mahasiswa. Tak hanya para petinggi organisasi kampus, para mahasiswa pun mulai mengungkapkan keresahannya.
Baik yang pro maupun kontra, beberapa mahasiswa menyampaikan pendapatnya kepada kru LPM Qimah terkait imbas dari penutupan beberapa kantin di luar tembok kampus, toko percetakan dan stationery, serta jalan alternatif di kampus 2.
Terkait penutupan kantin, M, salah satu mahasiswa dari program studi Bahasa dan Sastra Arab menyatakan bahwa ia kurang setuju dengan keputusan yang dibuat oleh pihak kampus tersebut pada Sabtu, (27/5).
“Tentu kurang setuju dengan penutupan tersebut karena beberapa kantin yang terletak di dalam kampus sendiri kurang memadai, termasuk UINSA Mart dengan harga yang kurang terjangkau dan tempatnya yang tidak luas. Jadi, apabila ingin menutup kantin di luar tembok kampus tersebut, setidaknya sediakan dulu lahan kantin yang memadai bagi mahasiswa.” Ujarnya.
Butuh kebijakan yang matang, jika fasilitas di dalam kampus sendiri masih belum mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa. Ditutupnya jalan alternatif, serta jasa percetakan dan penyedia ATK juga membuat mahasiswa kelimpungan, sebab jarang adanya toko print dan fotocopy terdekat di daerah tersebut. Selain itu, banyak dari mahasiswa yang juga kehilangan akses jalan terdekat. Seperti halnya yang dirasakan oleh SM dan A, mahasiswa program studi Sastra Inggris.
“Sebagai mahasiswa yang sering menggunakan jasa fotocopy dan print tersebut, tentunya merasa dirugikan karena pihak kampus sendiri belum memfasilitasi itu. Jika harus keluar kampus, itu juga cukup jauh, tidak ada jasa print yang dekat dengan kampus sehingga boros waktu.” Ungkap SM.
A, salah satu mahasiswa rantau yang memilih kos di dekat kampus 2 juga berpendapat demikian.
“Saya sebagai anak kos yang jarak tempat fotocopy-nya jauh, otomatis kalau mau nge-print, ya di situ. Akses pulang pun lewat jalan kantin belakang yang sekarang ditutup. Jadi, sangat menyusahkan saya karena harus memutar jalan dengan jarak yang cukup jauh,” ujarnya.
Terkait permasalahan kantin ilegal dan tempat nongkrong yang dibutuhkan mahasiswa selepas kuliah, M. Lazwardi, salah satu mahasiswa dari program studi Sastra Indonesia mengungkapkan pendapatnya dari sudut pandang yang berbeda.
“Semuanya punya untung rugi. Mungkin sudah banyak yang menolak kantin ditutup tapi kalau dilihat dari sisi lain akan berbeda. Saya tau mahasiswa juga perlu berkumpul dan berbicara sembari ngopi tapi apakah tidak bisa dilakukan di tempat lain? Secara tujuan kita itu menuntut ilmu. Kampus juga gak mau rugi tapi kalau memang sistem pengelolaan keuangan kampus sudah sip, kenapa kok sekedar membangun food court saja kesusahan.” Ujarnya.
Butuh kebijakan yang matang dari pihak kampus. Jika fasilitas di dalam kampus sendiri masih belum mampu memenuhi kapasitas dan kebutuhan mahasiswa, maka menjadi sebuah tanda tanya besar, mengingat UKT mahasiswa yang terbilang tinggi dan keuangan kampus yang tentunya tidak hanya bersumber dari mahasiswa. Mengapa pembangunan kampus 2 dirasa belum maksimal, terutama fasilitas dan prasarana bagi kebutuhan mahasiswa?
Kampus dan Mahasiswa harus Selaras!
Penulis: Ayu Puspita Sari
Editor: Nuzurul Rochmah