Dengan Siapa Aku Berbicara? (Bagian 2)

0

Penulis: Selvy Nur Islami

Sumber gambar: Writershouseart.com
 

...

Aku kehilangan kata-kata karena aku masih shock mendengar kabar itu sampai Vita memutus sambungan telepon. Setelah itu aku bersiap-siap dan bergegas ke rumah sakit yang tadi telah diberitahukan oleh Vita. Sesampainya di sana, aku melihat semua orang menangis, terlebih Faris, dia menangis sejadi-jadinya melihat kembarannya berada di ruang ICU. Aku menghampiri mereka, mengintip sedikit dari kaca pintu ruang ICU, aku bisa melihat Farel yang terbaring lemah dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuhnya. Lagi dan lagi, aku pun kembali menangis.

***

Sudah hari kelima Farel dinyatakan koma oleh dokter, dan selama lima hari itu pun aku rutin menjenguk Farel di rumah sakit. Seperti sekarang ini, aku tengah berdiri di luar ruangan ICU tempat Farel di rawat. Di dalam sana hanya ada Faris yang menemani Farel, karena ruang ICU itu sangatlah steril jadi hanya satu orang saja yang diperbolehkan untuk masuk.

Setelah puas memandangi Farel melalui kaca kecil di pintu ruang ICU, aku berjalan menghampiri Vita yang tengah duduk seorang diri karena orang tua si kembar pamit pulang sebentar untuk mengambil beberapa baju. Aku pun ikut duduk di sebelahnya. Namun tiba-tiba kami dikejutkan oleh seorang dokter dan suster yang terburu-buru masuk ke ruangan Farel. Sontak aku dan Vita pun berdiri, kami panik karenanya. Namun setelah itu keluarlah Faris. Dia memandangi kami dengan mata yang berkaca-kaca.

“Kakak sadar…”

Kalimat itu membuatku dan Vita senang campur haru. Faris pun segera menelepon kedua orang tuanya untuk memberitahukan kabar baik itu.

Setelah orang tua si kembar sampai di rumah sakit, Farel dipindahkan ke ruang rawat inap VIP. Kulihat orang tua Farel menangis haru dan terus saja memeluk dan mengecup kening Farel, Faris pun berada di samping mereka.

Satu minggu setelah Farel dipindahkan ke ruang rawat inap. Kini aku dan Vita kembali ke rumah sakit untuk menjenguk Farel. Aku dan Vita duduk di sofa, kemudian mamah menghampiriku dan Vita. “Vita, Via, mamah sama papah ke kantin dulu ya, beli makan. Ntar kita makan bareng-bareng.” Pamit mamah padaku dan Vita.

“Oke mah.” Jawabku dan Vita bersamaan.

Setelah Mamah dan Papah keluar dari ruangan ini, Faris menghampiri kami dan duduk di antara aku dan Vita.

“Apaan sih Ris, lo nyempil aja dah kayak upil,” gerutuku karena aku terhimpit olehnya.

“Yaudah sih lo tinggal pindah aja susah amat? Gua mau berduaan sama Vita.”

“Enak banget lo ngomong, gua yang—”

“Vi…” Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, namun Farel memanggilku.

“Dipanggil kakak noh, sana gih samperin,” ucap Faris tak lupa dengan wajah tengilnya.

Aku hanya mendengus dan pergi menghampiri Farel lalu duduk di kursi samping ranjang tempatnya berbaring.

“Kenapa Rel? Butuh sesuatu?” Kulihat Farel hanya menggeleng.

“Vi, kepala Arel pusing…” Aku pun spontan mengelus rambutnya pelan, kulihat dia merasa nyaman.

“Vi, Arel mau cerita. Pas Arel koma kemarin, di dalam mimpi Arel ketemu sama anak kecil. Arel tanya nama dia siapa tapi dia nggak jawab. Dia cuma bilang kalo dia selalu ada di dekat Arel, di mana pun Arel berada.” Sontak aku menghentikan elusanku pada rambut Farel. Mendengar cerita Farel, aku teringat apa yang Vita katakan mengenai sosok anak kecil yang ada di kamar si kembar beberapa waktu lalu.

“Vi, kenapa diem?” Tanya Farel padaku.

“Ah, nggak. Terus gimana?” Aku pun kembali mengelus rambutnya kemudian Farel melanjutkan ceritanya.

“Anak kecil itu selalu ngajak Arel main, tapi Arel nggak mau karena Arel nyari adek. Arel selalu denger suara adek nyebut nama Arel tapi Arel cuma bisa denger suaranya, Arel ngga bisa nemuin adek di sana. Anak kecil itu selalu maksa Arel buat ikut dia, tapi Arel tetep nolak dan Arel ikutin terus suara adek sampe akhirnya Arel sadar dari koma.”

Dalam hati aku bersyukur Farel tidak mengikuti ajakan sosok anak kecil itu, tetapi apakah masuk akal jika Farel tertahan di alam bawah sadarnya karena sosok anak kecil itu? Mengingat dia koma selama lima hari. Sejak kapan pula Farel menyebut dirinya sendiri dengan sebutan Arel? Sebelumnya dia tidak pernah begitu, dan kenapa aku merasa sifatnya agak seperti anak kecil? Ah beberapa hal aneh terjadi setelah dia sadar dari koma-nya.

***

Satu bulan Farel dirawat dan sudah satu minggu Farel pulang ke rumahnya. Hari ini adalah jadwal Farel untuk check up karena luka di kepalanya pasca kecelakaan kemarin. Pukul 13.00 aku dan Vita sudah berada di rumah si kembar untuk ikut mengantar Farel check up. Ayah si kembar tidak bisa ikut karena sedang ada pekerjaan di luar kota, sedangkan ibu si kembar sudah berada di rumah sakit sejak pagi tadi karena ada beberapa hal yang perlu diurus di sana.

Kami berangkat dari rumah si kembar menuju rumah sakit secara terpisah. Faris bersama dengan Vita menggunakan motor milik Faris, sedangkan aku dan Farel menggunakan mobil milikku. Jangan tanyakan padaku kenapa kami tidak berangkat bersama saja dengan menggunakan mobil, akupun tidak tahu. Itu kemauan Faris.

Selama di perjalanan Farel hanya diam menatap lurus ke depan. Aku pun ikut diam —fokus menyetir sampai suara Farel menginterupsi.

“Vi, bukannya adek tadi naik motor sama Vita ya? ko sekarang adek malah duduk di kursi belakang?”

“Hah? Gimana Rel?” Jujur aku sangat terkejut, karena saat aku melihat ke kursi belakang melalui cermin di atas kepalaku, aku tidak menemukan siapapun di sana.

“Ih, Vi, masa ngga liat sih? Itu ada adek loh. Tapi ko adek nunduk terus ya? Muka adek juga pucet banget,” gumam Farel sembari terus melihat ke arah kursi belakang.

“Hahaha, Arel bercanda deh… jelas-jelas tadi Faris naik motor sama Vita. Masa tiba-tiba Faris duduk di kursi belakang?” Aku hanya tertawa canggung menanggapi ucapannya, jujur perasaanku mulai tidak enak.

“Tapi Vi—”

“Udah ya? Ngga ada siapa pun di situ, Arel Cuma salah liat,” ucapku lalu menggenggam tangannya, aku menatapnya sebentar lalu tersenyum. Dia pun akhirnya menurut dan sudah tidak melihat ke arah belakang lagi, namun kulihat pandangan matanya kosong.

Beberapa saat kemudian, Farel kembali memanggil namaku. “Vi…”

“Iya, kenapa?”

“Masih inget anak kecil yang Arel certain waktu itu? Sekarang dia ada di depan Arel, dia duduk ngeliatin Arel dari kaca depan mobil.”

Ya Tuhan apalagi ini? Kenapa sosok itu terus saja mengganggu Farel?

“Arel… ngga ada apa-apa. Jangan diliatin terus ya?” Ucapku padanya.

“Vi, Arel ngantuk, Arel tidur ya?”

Oh tidak! Selalu seperti ini. Setiap Farel mengalami hal janggal dia selalu merasa mengantuk lalu kemudian dia akan pingsan.

“Ih… Jangan tidur Arel. Dikit lagi nyampe ko, tahan sebentar ya?” Kulihat Farel hanya mengangguk. Aku terus saja mengajaknya mengobrol namun pada akhirnya pun dia tetap tertidur.

Sesampainya di rumah sakit, aku menelepon Faris untuk membantuku mengangkat Farel karena sedari tadi aku tidak berhasil membangunkannya.

Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya Farel sadarkan diri. Dan selama satu jam itu, aku menceritakan hal janggal yang terjadi di mobil tadi kepada Vita dan Faris. Faris tidak percaya dengan apa yang aku katakan, namun kulihat Vita hanya diam sambil menatapku.

“Eugh… gua di mana?” Tanya Farel setelah sadar dari pingsannya.

“Lo di rumah sakit kak, kan ini jadwal lo check up.” Jawab Faris.

“Loh, ko tiba-tiba kita udah di rumah sakit? Bukannya tadi kita masih duduk-duduk di ruang tamu ya?”

Kami bertiga saling pandang, heran.

“Kak, masa lo nggak inget? Lo berangkat bareng Via naik mobil. Terus gua sama Vita naik motor,” jelas Faris. Namun aku masih menangkap raut kebingungan dari wajah Farel.

“Hah? Masa sih? Gua ngga inget.”

“Rel, kita ngobrol loh selama di mobil? Nggak inget apa saja yang kita obrolin?” Tanyaku masih berusaha mengingatkan Farel.

“Gua sama sekali nggak inget Vi, Gua juga ngga ngerasa kita ngobrol selain yang di ruang tamu itu.” Aku hanya diam setelahnya.

Vita menatap ke arahku, aku pun menatap ke arahnya.

Seketika jantungku berdegup kencang, bulu kudukku pun meremang. Dengan siapa aku berbicara tadi?

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !