Pralaya

0

 Oleh: Restu Dimas Prasetya 

Sumber gambar: pinterest.com

Demak, 1546 M...

Siang itu, terik matahari menyinari kota pesisir tersebut. Angin sepoi-sepoi membuat pohon-pohon kelapa di sekeliling kota pesisir tersebut melambai.

Sebuah gubuk kayu sederhana berdiri di kota pesisir tersebut. Gubuk itu ditempati seorang nelayan miskin dan istrinya serta putra tunggal mereka yang bernama Genah.

Suatu siang...

Genah baru saja pulang dari bermain di pinggir pantai, ia mengetuk pintu rumahnya..

TOK! TOK! TOK! 

“Assalamualaikum Bu Genah mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam” Ibu bergegas ke pintu dan membukakan pintu. Genah masuk ke rumah, ia sangat terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa.

Karung-karung berisi penuh pakaian berjajar di ruang tamu. Lantai kayu gubuk itu sudah penuh dengan karung-karung pakaian, tak ketinggalan karung-karung berisi beras dan ikan. Mata Genah terbelalak dan mulutnya menganga.

“Kita mau pindah rumah ya Bu? Tanya Genah.

“Nak, sudahlah, cepat makan dulu, ibu sudah masakkan ikan panggang.” Ibu berupaya mengalihkan pembicaraan.

“Tapi Bu... sela Genah.

“Makan dulu lah, Toh Le, wis jam piro iki?( Jawa: sudah jam berapa ini?)

...

Istana Kesultanan Demak....

Suasana di Istana kesultanan itu tampak tegang. Beberapa  pekan yang lalu, Sultan Demak, Trenggana telah wafat dalam sebuah ekspedisi ke Panarukan. Trenggana digantikan oleh putranya, Sunan Prawata. Siang itu, Sunan Prawata duduk di singgasananya sambil menopang dagu. Pikirannya sedang tidak tenang. Para penjaga istana dan para dayang heran dengan sikapnya beberapa hari ini.

Tak lama kemudian...

Datanglah abdi setia Sunan Prawata, Pangeran Pasarean. Pangeran Pasarean adalah putra mahkota Kesultanan Cirebon yang dikirim ayahnya, Sunan Gunung Jati, untuk mengabdi di Kesultanan Demak sebagai tanda aliansi. Pangeran Pasarean sebelumnya mendampingi Sultan Trenggana. Kini, ia mendampingi putra Sultan Trenggana, Sunan Prawata.

Pangeran Pasarean menoleh heran ke Sunan Prawata yang termenung di singgasananya,

“Tuan, bagaimana kabar tuan? Mengapa hari-hari ini tuan terlihat murung? Tanya Pangeran Pasarean.

“Mendekatlah, Pasarean, jangan kau ceritakan ini pada siapapun.” Pinta Sunan Prawata.

Pangeran Pasarean mendekat dan berdiri di samping singgasana Sunan Prawata. Hatinya dipenuhi rasa penasaran, masalah apa yang melanda tuannya itu.

“Jadi, begini Pasarean, Telik Sandi menginformasikan kepadaku, bahwasannya Adipati Jipang, yaitu Aria Penangsang berniat menyerbu Demak dan mengambil tahta dariku, kabarnya Pasukan Jipang dan Pasuruan mendukungnya, Kesultanan Banten pun memberikan dukungan padanya.Jelas Sunan Prawata.

“Mengapa Penangsang seperti itu? Bukankah dia orang baik?Pangeran Pasarean mengangkat bahu.

“Dulu, ayahku memerintahkanku membunuh ayah Penangsang, Pangeran Sekar Seda Lepen,  yang diwasiatkan agar menjadi Sultan Demak setelah Ramanda Pati Unus, agar ia mampu naik tahta menjadi Sultan Demak. Aku pun membunuh pamanku tersebut.” Jawab Sunan Prawata.

“Mengapa bisa terjadi seperti itu Tuan? Bisakah tuan ceritakan dari awal? Pangeran Pasarean mengangkat alis.

Pada Tahun 1507, Ramanda Raden Patah meninggal setelah meluaskan wilayah pengaruh Demak ke Palembang, Japura, dan Kalimantan. Kemudian ia menunjuk putra sulungnya, yaitu ayahku sebagai Sultan Demak. Ayahku sering lalai dalam urusan pemerintahan dan lebih memperhatikan selir-selirnya, sehingga rakyat kelaparan. Akhirnya ipar dari Ramanda Pati Unus menggulingkannya dan memerintah sebagai Sultan Demak hingga Tahun 1522. Sebelum wafatnya, Ramanda Pati Unus menunjuk pamanku, Pangeran Seda Lepen, yang merupakan saudara kandung ayahku sebagai pengganti. Namun ayahku tak terima dan memerintahkanku membunuh paman, terpaksa aku membunuhnya dan kini Penangsang akan membalaskan dendamnya.Jelas Sunan Prawata.

Tak lama kemudian...

Apa yang ditakutkan terjadi. Panji-panji merah dan kuning berkibar di luar tembok Kota Demak, moncong-moncong meriam mengarah ke tembok-tembok batu, ribuan prajurit berpakaian kuning dan merah berbaris di luar tembok. Mereka lah prajurit-prajurit Jipang dan Pasuruan. Di tengah-tengah mereka, Penangsang berkuda dengan menenteng kerisnya, siap memberi komando untuk menyerang. Pasukan penjaga tembok hanya terheran-heran melihat mereka. Di atas tembok, panji hitam milik Kesultanan Demak berkibar.

“TEMBAK!!! Teriak Penangsang seraya mengacungkan kerisnya ke tembok-tembok Kota Demak.

DUARRR!!! DUARRR!!! Satu persatu bola api menghantam tembok-tembok Kota Demak, tembok demi tembok berjatuhan dan satu persatu prajurit menemui ajalnya. Pasukan pemberontak dari Jipang dan Pasuruan menerobos masuk dan membantai prajurit penjaga yang tersisa.

Dari dalam Istana Demak...

Seorang prajurit penjaga tembok buru-buru menemui Sunan Prawata.

“Prabu, musuh sudah datang, mereka adalah Pasukan Jipang dan Pasuruan yang dipimpin oleh Penangsang. Mereka sudah menerobos tembok-tembok kota.Teriak penjaga tersebut

“AKU HARUS SEGERA BERTINDAK! KURANG AJAR PENANGSANG! Sunan Prawata bangkit dari singgasananya dengan marah.

“JANGAN TUAN, BIARKAN AKU BERTINDAK! Teriak Pangeran Pasarean.

Pangeran Pasarean buru-buru mengambil keris dan tombaknya, lalu memacu kudanya ke tembok kota. Ia mengambil alih komando pasukan dan bertempur mati-matian. Banyak pasukan pemberontak tewas di ujung kerisnya, namun Pasukan Jipang dan Pasuruan begitu banyak. Pasukan penjaga tembok yang tersisa, walau terluka parah pun bertahan mati-matian melawan para pemberontak.

Hingga akhirnya..

SRAKKK!!! Sebuah anak panah mengenai dada Pangeran Pasarean. Pangeran Pasarean terjatuh dari kudanya dan langsung gugur. Perlawanan di tembok kota melemah. Pasukan Jipang dan Pasuruan mampu menerobos ke dalam kota dan mereka membakar rumah-rumah warga. Api berkobar dan asap membumbung.

...

Rumah Genah...

Ibu dan Genah sedang tertidur di kamar.

Tiba-tiba..
Ibu merasa dadanya sesak, ia terbangun seraya memegang dadanya.

Ternyata..

Asap sudah memenuhi rumah dan masuk lewat jendela rumah mereka, bagian luar rumah pun sudah terbakar. Ibu membangunkan Genah yang masih pulas tertidur.

“NAK! BANGUN NAK!Ibu mengguncang-guncang tubuh Genah, Genah terbangun dan terkesiap melihat api berkobar di luar rumah dan asap masuk ke rumah. Dinding bedek rumah itu mulai terbakar. Mereka segera buru-buru keluar seraya membawa barang-barang yang bisa dibawa.

Ibu masih cemas memikirkan keadaan ayah yang sedang merantau ke Palembang untuk mencari sesuap nasi. Dari ayahlah, yang mendengar dari pejabat Demak di Palembang, Ibu mengetahui kabar bencana ini. Ibu dan Genah terlihat linglung, orang-orang berlarian tak tentu arah.

Pasukan bantuan Cirebon di bawah kepemimpinan Sunan Gunung Jati yang membawa panji-panji putih tiba di Demak dan melihat keadaan Ibu Kota imperium Islam terbesar di Jawa itu yang sudah carut-marut tak keruan. Pasukan Jipang dan Pasuruan sedang sibuk melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah warga. Sebetulnya, mudah saja mereka dilenyapkan  dengan meriam, akan tetapi menembakkan meriam ke arah mereka akan menambah api yang membakar rumah-rumah warga.

Kota Demak yang megah, kenangan akan kejayaan Islam di Jawa, kini menjadi lautan api dan asap membumbung menutup langit. Sunan Gunung Jati dan Pasukan Cirebon yang berkumpul di depan gerbang kota, terhalang memasuki kota oleh api dan asap yang memenuhinya.

Sementara itu, dari salah satu gerbang tampak Sunan Prawata dan rombongan bangsawan, serta rakyat biasa yang selamat setelah mendengar kabar wafatnya Pangeran Pasarean dan kalahnya pasukan penjaga, beramai-ramai keluar dari gerbang kota untuk mengungsi ke Gunung Prawata. Genah dan ibunya tampak berjalan di belakang, mengikuti rombongan pengungsi.

Dengan jumawa, Arya Penangsang memasuki istana, ia melihat istana yang megah itu kini telah kosong. Sang sultan dan seluruh keluarga serta rakyat yang selamat, buru-buru meninggalkan istana untuk mengungsi. Demak benar-benar sudah menemui ajalnya, kota itu diduduki pemberontak saat Sultan Prawata dalam kondisi tidak siaga untuk mempertahankannya.

Prajurit-prajurit Jipang dan Pasuruan disebar ke berbagai penjuru kota untuk mencegah Pasukan Cirebon menerobos ke dalam kota dan mendesak posisi Penangsang. Sementara itu, Pasukan Pate Sudayo dari Surabaya juga telah sampai untuk mengamankan kota yang rusuh tersebut. Satu persatu warga yang selamat masih keluar dari gerbang-gerbang kota dengan membawa barang-barang seadanya untuk mengungsi ke Bukit Prawata. Di belakang mereka, tampak keledai-keledai yang berjalan perlahan membawa persediaan makanan. Mayat-mayat gosong masih berserakan di kota. Kerajaan Demak telah pralaya dan kini menjadi sebuah kenangan.

 

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !