![]() |
Sumber Gambar: LPM Qimah |
Menurut Surya, Ketua Pelaksana SUAR, acara ini diadakan untuk memperkenalkan kembali kebudayaan khas Jawa Timur, terutama kesenian khas Surabaya yaitu ludruk ke masyarakat. Menurut Surya, ludruk hampir saja punah di era modern ini karena maraknya isu-isu politik yang kerap menimbulkan perselisihan. Hal tersebut menyebabkan anak muda kehilangan minatnya pada kesenian ludruk.
Dalam acara SUAR, juga menayangkan film dokumenter tentang perkembangan ludruk dari masa ke masa. Menurut Surya, film tersebut merupakan hasil produksi rekan-rekannya di Trenggalek. Sementara itu, ludruk merupakan suatu kesenian khas Jawa Timur yang biasanya ditampilkan dengan pemeran laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan, baik ketika bernyanyi dan menari. Pertunjukan disampaikan dengan Bahasa Jawa logat Jawa Timur. Sekitar tahun 1980, ludruk menjadi tontonan favorit masyarakat Indonesia yang disiarkan melalui saluran TVRI. Namun kini, ludruk hanya terpusat di Ponorogo dan Madiun. Bahkan menurut penuturan Surya bahwa kondisi kesenian ludruk nyaris punah.
![]() |
Sumber Gambar: LPM Qimah |
Setelah selesai menonton bersama, dilanjut pula dengan diskusi hangat antara peserta dan acara penutupan yang terdiri dari yel-yel, doa bersama, pengumuman pemenang dari lomba-lomba yang diadakan LPM Mercusuar serta dilanjut dengan ditutupnya acara.
Sebagai informasi, seni pertunjukan khas Jawa Timur seperti ludruk dan wayang kulit memiliki akar sejarah yang sangat dalam. Menurut Sejarawan Rita Istari, Prasasti Penampihan yang bertarikh 898 M dan Prasasti Wukayana yang bertarikh 907 M, telah menginformasikan terkait pelaksanaan pertunjukan wayang di masa Raja Balitung.
Rakai Watukura Dyah Balitung adalah salah seorang Raja Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya yang memerintah antara 899-910 M. Balitung dikenal sebagai raja yang religius dan banyak membangun tempat peribadatan Agama Hindu. Menurut Sejarawan Rita Istari, pada masa itu wayang kerapkali digunakan untuk ritual keagamaan.
Tidak hanya wayang, seni ludruk juga memiliki akar historis. Ludruk bisa diperkirakan mulai dicatat oleh orang asing sejak abad ke-16 M. Sebagaimana dicatat oleh Tome Pires saat beliau berada di Jawa, para pemain topeng kerap kali melakukan pertunjukan dengan menari dan bercerita. Tome Pires mencatat bahwasannya, Raja Jawa (Majapahit) yang dia sebut sebagai Batara Vojyaya memiliki 1000 orang lelaki yang dipelihara untuk menjaga selir-selirnya. Para lelaki tersebut didandani dengan pakaian wanita. Mungkin, tradisi inilah yang kemudian dipelihara dalam pementasan ludruk kedepannya.
Oleh karena itu, dengan adanya kegiatan SUAR dapat menjadi wadah untuk melestarikan kesenian lokal. Bahkan tidak hanya ludruk, di ruang sebelah Aula Cenderawasih terdapat stand dengan berbagai karya seni dan sastra yang dipamerkan, antara lain novel klasik dan wayang kulit. Wayang kulit dengan berbagai karakter serta sepasang wayang golek dipamerkan di ruangan tersebut.
Penulis : Restu Dimas Prasetya
Editor : Intan