Lantas, Siapa yang Salah?

3 minute read
0

Oleh: Naura Maulika

Sumber gambar: freepik.com


“Hijau, hijau!!!” Suara pekikan gadis itu memenuhi seisi rumah. Suasana haru dan bahagia seketika lantas mengalir memenuhi seisi rumah. Ucapan selamat dari yang terkasih pun mulai berdatangan. Raut wajah sang gadis seketika berubah sumringah sepanjang hari. Perjuangan yang dilalui, akhirnya bertemu hasil yang setara. Kabar tersebut juga menyebar ke sekolahnya. Para guru dan teman yang tau perjuangan gadis tersebut pun turut bersuka cita.

Namanya Sajidah Khansa Alifah dan sapaan akrabnya adalah Sajidah, Jidah atau ada juga yang memanggilnya Sajid. Mungkin tidak banyak yang mengenalnya. Namun, hampir semua guru di sekolah pasti dekat dengannya. Hampir semua guru tau apa mimpinya dan banyak yang sangat mendukung apa yang dipilihnya. Secara cepat, poster yang mengabarkan diterimanya Sajidah di kampus impiannya tersebar di grup sekolah.

Selamat dan Sukses

Atas diterimanya Siswi SMAI Al-Kindi

SAJIDAH KHANSA ALIFAH

Di Sekolah Tinggi Ilmu Agama dan Bahasa Arab Al-Firnas

Program Studi Bahasa dan Sastra Arab

Sekolah Tinggi Ilmu Agama dan Bahasa Arab Al-Firnas bukan perguruan tinggi biasa. Banyak siswa-siswi yang berebut untuk mendapat kursi disana. Bukan hal mudah untuk menjadi bagian dari STIABA Al-Firnas. Mulai dari persaingan yang ketat sampai soal tes yang berbasis bahasa Arab. Pada awalnya, Sajidah juga tak menyangka akan diterima. Namun ternyata, saat itu jerih payahnya berbuah sudah.

Seperti mahasiswa baru lainnya. Sajidah melalui hari-hari masa orientasi serta minggu awal perkuliahan yang diisi dengan perkenalan dan hari ini adalah minggu kedua perkuliahan yang dijalani Sajidah. Sebagai mahasiswa dan bukan lagi seorang siswa, minggu kedua sudah terisi dengan tugas yang akan dipresentasikan.

Hari senin tanda awal dimulainya kesibukan tiap mahasiswa. Tak terkecuali Sajidah. Tekanan pun bertambah dengan Sajidah dan kelompoknya yang akan pertama kali tampil presentasi di era perkuliahan. Sedikit tertunda, akhirnya dosen yang ditunggu baru tiba 45 menit kemudian. Pagi itu, Sajidah dan ketiga temannya, Rayyan, Rafif dan Vyra telah menyiapkan makalah mata kuliah bahasa Indonesia dan berusaha siap untuk tampil perdana.

Sajidah merasa tampil perdananya ini memberinya privilege tersendiri. Tampil perdana membuatnya mendapat feedback positif untuk penampilan selanjutnya. Selain itu, penampilan perdana seringnya tidak pernah disalahkan, karena dari penampilannya, teman-teman mendapat gambaran untuk tampil selanjutnya jauh lebih baik. Apakah terhitung berhasil? Mungkin tidak sesempurna yang diharapkannya. Namun setidaknya, ada gambaran baru yang ia terima.

Terlalu dini seharusnya untuk menilai, tapi itulah yang terjadi padanya. Selasa pagi dimulai dengan kelas mata kuliah Pengantar Studi Islam. Kali ini bukan Sajidah, jadi dirinya cukup menyimak dan membaca makalah temannya. Sesi diskusi adalah waktu yang tak disukai beberapa teman Sajidah. Karena di waktu inilah keaktifan tiap mahasiswa akan dinilai. Ekspektasi akan diskusi yang seru dan menarik seperti ketika di bangku SMA pupus sudah. Ia merasa tidak tertarik untuk bertanya apapun. Bukan, bukan karena dirinya terlalu pintar. Namun, isi makalah yang dibuat seadanya membuatnya bahkan tak tertarik untuk membaca seluruh isinya hingga habis. Begitupun keadaan kelasnya. Pertanyaan yang terlontar seakan telah terkonsep begitu saja. Berat, tapi ia mencoba untuk menerimanya. “Mungkin ini terlalu awal, masih ada semester depan,” gumamnya dalam hati.

Semester kedua, banyak harap dan doa yang diinginkan Sajidah sebagaimana yang ia inginkan di semester sebelumnya. Namun, manusia tentu hanya bisa berharap. Nyatanya ia tak menemukan perubahan yang ia inginkan. Belum lagi di semester ini banyak teman-temannya yang seolah menggampangkan penugasan dan perkuliahan. Sudah tak terhitung jari berapa banyak teman-temannya dengan santai menggunakan isi makalah orang lain dengan hanya mengubah nama. Berapa banyak jawaban sama diantara teman-temannya. “Ini yang banyak orang bilang kalau dunia kuliah bisa semenakutkan ini,” batinnya. Dalam secarik kertas yang dipegangnya, Sajidah menulis curahan hatinya:

“Aku tak mengerti apa yang ada dalam pikiran mereka. Bukankah orang tua mereka sudah bersusah payah untuk membiayai perkuliahan sang anak? Sedangkan tanpa mereka tau, anak-anak mereka lebih memilih menghabiskan waktu untuk menyesap tembakau dan menegak kopi hitam di warung pinggir jalan. Sialnya, mereka yang tidak berkecukupan ekonomi dan tidak mendapat kuota bidikmisi justru adalah orang yang paling ingin duduk di bangku pendidikan ini. Siapa yang bisa kusalahkan disini? Apakah pemerintah yang tidak tegas dalam isu pendidikan? Apakah diriku yang memasang ekspektasi terlalu tinggi? Apakah aku yang salah memilih tempat belajar? Entahlah, aku pun tak mengerti akan jawaban yang benar. Berlari di tengah orang yang merangkak adalah hal yang paling aku sesali.”

“Setidaknya, semoga mereka bisa bertanggungjawab atas pilihan yang telah mereka pilih.” - Sajidah

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !
March 16, 2025