Oleh: Naura Maulika
![]() |
Sumber gambar: freepik.com |
Namanya Sajidah Khansa Alifah dan
sapaan akrabnya adalah Sajidah, Jidah atau ada juga yang memanggilnya Sajid.
Mungkin tidak banyak yang mengenalnya. Namun, hampir semua guru di sekolah
pasti dekat dengannya. Hampir semua guru tau apa mimpinya dan banyak yang
sangat mendukung apa yang dipilihnya. Secara cepat, poster yang mengabarkan
diterimanya Sajidah di kampus impiannya tersebar di grup sekolah.
Selamat dan Sukses
Atas diterimanya Siswi SMAI Al-Kindi
SAJIDAH KHANSA ALIFAH
Di Sekolah Tinggi Ilmu Agama dan Bahasa Arab
Al-Firnas
Program Studi Bahasa dan Sastra Arab
Sekolah Tinggi Ilmu Agama dan
Bahasa Arab Al-Firnas bukan perguruan tinggi biasa. Banyak siswa-siswi yang
berebut untuk mendapat kursi disana. Bukan hal mudah untuk menjadi bagian dari
STIABA Al-Firnas. Mulai dari persaingan yang ketat sampai soal tes yang
berbasis bahasa Arab. Pada awalnya, Sajidah juga tak menyangka akan diterima.
Namun ternyata, saat itu jerih payahnya berbuah sudah.
Seperti mahasiswa baru lainnya.
Sajidah melalui hari-hari masa orientasi serta minggu awal perkuliahan yang
diisi dengan perkenalan dan hari ini adalah minggu kedua perkuliahan yang
dijalani Sajidah. Sebagai mahasiswa dan bukan lagi seorang siswa, minggu kedua
sudah terisi dengan tugas yang akan dipresentasikan.
Hari senin tanda awal dimulainya
kesibukan tiap mahasiswa. Tak terkecuali Sajidah. Tekanan pun bertambah dengan
Sajidah dan kelompoknya yang akan pertama kali tampil presentasi di era
perkuliahan. Sedikit tertunda, akhirnya dosen yang ditunggu baru tiba 45 menit
kemudian. Pagi itu, Sajidah dan ketiga temannya, Rayyan, Rafif dan Vyra telah
menyiapkan makalah mata kuliah bahasa Indonesia dan berusaha siap untuk tampil
perdana.
Sajidah merasa tampil perdananya
ini memberinya privilege tersendiri. Tampil
perdana membuatnya mendapat feedback positif
untuk penampilan selanjutnya. Selain itu, penampilan perdana seringnya tidak
pernah disalahkan, karena dari penampilannya, teman-teman mendapat gambaran
untuk tampil selanjutnya jauh lebih baik. Apakah terhitung berhasil? Mungkin
tidak sesempurna yang diharapkannya. Namun setidaknya, ada gambaran baru yang
ia terima.
Terlalu dini seharusnya untuk menilai,
tapi itulah yang terjadi padanya. Selasa pagi dimulai dengan kelas mata kuliah Pengantar
Studi Islam. Kali ini bukan Sajidah, jadi dirinya cukup menyimak dan membaca
makalah temannya. Sesi diskusi adalah waktu yang tak disukai beberapa teman
Sajidah. Karena di waktu inilah keaktifan tiap mahasiswa akan dinilai. Ekspektasi
akan diskusi yang seru dan menarik seperti ketika di bangku SMA pupus sudah. Ia
merasa tidak tertarik untuk bertanya apapun. Bukan, bukan karena dirinya terlalu
pintar. Namun, isi makalah yang dibuat seadanya membuatnya bahkan tak tertarik
untuk membaca seluruh isinya hingga habis. Begitupun keadaan kelasnya.
Pertanyaan yang terlontar seakan telah terkonsep begitu saja. Berat, tapi ia
mencoba untuk menerimanya. “Mungkin ini terlalu awal, masih ada semester
depan,” gumamnya dalam hati.
Semester kedua, banyak harap dan
doa yang diinginkan Sajidah sebagaimana yang ia inginkan di semester
sebelumnya. Namun, manusia tentu hanya bisa berharap. Nyatanya ia tak menemukan
perubahan yang ia inginkan. Belum lagi di semester ini banyak teman-temannya
yang seolah menggampangkan penugasan dan perkuliahan. Sudah tak terhitung jari
berapa banyak teman-temannya dengan santai menggunakan isi makalah orang lain
dengan hanya mengubah nama. Berapa banyak jawaban sama diantara teman-temannya.
“Ini yang banyak orang bilang kalau dunia kuliah bisa semenakutkan ini,”
batinnya. Dalam secarik kertas yang dipegangnya, Sajidah menulis curahan
hatinya:
“Aku tak mengerti apa yang ada
dalam pikiran mereka. Bukankah orang tua mereka sudah bersusah payah untuk membiayai
perkuliahan sang anak? Sedangkan tanpa mereka tau, anak-anak mereka lebih
memilih menghabiskan waktu untuk menyesap tembakau dan menegak kopi hitam di
warung pinggir jalan. Sialnya, mereka yang tidak berkecukupan ekonomi dan tidak
mendapat kuota bidikmisi justru adalah orang yang paling ingin duduk di bangku
pendidikan ini. Siapa yang bisa kusalahkan disini? Apakah pemerintah yang tidak
tegas dalam isu pendidikan? Apakah diriku yang memasang ekspektasi terlalu
tinggi? Apakah aku yang salah memilih tempat belajar? Entahlah, aku pun tak
mengerti akan jawaban yang benar. Berlari di tengah orang yang merangkak adalah
hal yang paling aku sesali.”
“Setidaknya, semoga mereka bisa bertanggungjawab atas pilihan yang telah mereka pilih.” - Sajidah