Badut di Taman Kota

0

    Oleh: Ghoutsi Islahiyah


Sumber gambar: Shutterstock.com

            Sore hari sepulang dari kantor, aku selalu mampir ke kedai kopi favoritku. Hampir dua tahun aku ke kedai ini tidak ada yang menarik dari kedai itu. Aku hanya mampir untuk meredakan pikiran yang panas setelah seharian bekerja. Namun sejak seminggu yang lalu sesuatu ganjil menarik perhatianku. Di sana, di sudut depan sebelah kanan kedai kopi ini, selalu ada seorang pria paruh baya duduk diam dengan pandangan wajah sendu. Entah apa yang dipikirkannya, yang pasti wajahnya terlihat penuh garis-garis beban dan matanya kosong. Secangkir kopi yang dipesannya utuh, tidak berkurang sedikitpun. Jika ku amati dari jauh, sepertinya kopi itu sudah lama disajikan. Sebab asap panasnya sudah tidak ada. Kopi itu akan diminumnya saat sudah mau pulang dengan sekali cegukan. Malam itu, saat akan kuhampiri, ternyata dia sudah meminum kopinya dan bersiap pulang. Tak lama setelahnya, aku menyusul pulang ke rumahku sebab besok aku harus berangkat kerja pagi-pagi sekali.

            Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku berangkat kerja. Metromini yang aku tumpangi selalu melewati taman kota. Di sana tampak kerumunan orang tertawa bahagia karena tingkah kocak badut yang melompat-lompat, bermain sulap, terkadang juga hanya menjatuhkan topinya dengan cara yang lucu. Aku tersenyum melihatnya, seolah tertular kebahagiaannya. Perjalanan pagi ke kantor selalu menyenangkan. Badut di taman kota itu membangkitkan semangatku. Ketulusannya menghibur orang-orang dengan upah yang tidak seberapa itu menambah rasa syukurku.

            Sepulang kerja, aku kembali ke kebiasaanku yaitu mengistirahatkan otak sejenak di kedai kopi langganan. Seperti biasa, di sudut depan kanan terlihat lagi seorang paruh baya yang masih sama seperti kemarin. Raut wajahnya tidak berubah sama sekali. Rasa penasaranku terhadapnya semakin menambah. Beberapa saat aku memberanikan diri menghampiri sebelum dia pergi. Aku duduk disampingnya dan bertanya.

            “Pak, setiap hari saya ke sini dan melihat bapak yang selalu duduk di sini dengan wajah sedih. Mengapa, pak?”

            Pria paruh baya itu mengangkat wajahnya sambil tersenyum tipis, tapi masih terlihat kesedihan di matanya.

            “Terima kasih, Nak.  Aku tidak apa-apa.” Katanya.

            “Kalau begitu, coba Bapak pergi ke taman kota. Disana ada badut lucu. Dia bisa membuat banyak orang tertawa. Mungkin dengan itu Bapak merasa lebih baik.” Ujarku

            Pria paruh baya itu terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Tawa getir yang menyakitkan. Lalu dia menjawab.

            “Nak, badut yang kau lihat di taman kota itu adalah aku.”

            Aku terkejut “Bapak…  badut itu?”

            Pria paruh baya itu mengangguk pelan.

            “Setiap pagi aku menjadi badut untuk membuat orang lain tertawa. Tapi saat malam tiba, aku kembali menjadi diriku yang sebenarnya. Tidak ada tawa yang tersisa untukku.”

            Aku tak tahu harus bagaimana dan berkata apa. Hatiku mencelos. Pria paruh baya itu kembali berbicara.

            “Terkadang, orang sepertiku ini harus memberi kebahagiaan kepada orang lain, meskipun kami sendiri tenggelam dalam kesedihan.”

            Aku terdiam, memandang pria paruh baya itu yang saat ini terlihat rapuh dari sebelumnya.

            “Pak, aku tidak tahu apa yang sedang bapak hadapi, tapi mungkin… biarkan saya menemani bapak malam ini. Terkadang berbagi cerita dengan orang lain bisa sedikit meringankan beban.”

            Pria paruh baya itu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya, secangkir kopi di depannya tidak lagi terasa sepi.

 



Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !