Indonesia Cemas 2045: Simpang Siur Dampak Efisiensi Anggaran di Sektor Pendidikan

0

 
Sumber Gambar: kompasiana.com

    Penerbitan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 terkait efisiensi anggaran negara pada 22 Januari 2025 lalu membuat masyarakat dari berbagai kalangan geram. Pasalnya, anggaran dana yang dipangkas terhitung tidak main-main. Di sektor pendidikan saja, anggaran yang dipangkas menyentuh nominal Rp30,5 triliun, dengan rincian Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) sebesar Rp22,5 triliun, sedangkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di angka Rp8 triliun. 

   Pada 12 Februari 2025, Kemendiktisaintek bersama Kemendikdasmen melakukan rapat dengan DPR membahas lebih lanjut mengenai rencana efisiensi ini yang menghasilkan diantara beberapa hal berikut:

1. Anggaran KIP-K dipangkas sebesar sembilan persen yang akan berdampak pada 663.821 dari 844.174 mahasiswa penerima bantuan KIP-K terancam putus kuliah pada 2025. Tak hanya itu, penerimaan mahasiswa baru lewat jalur KIP-K di tahun yang sama juga terancam ditiadakan. Hal ini tentu menurunkan akses pendidikan tinggi bagi kelompok ekonomi bawah yang berujung pada tidak adanya sarjana pertama dalam satu keluarga. Mimpi mengenyam pendidikan tinggi bagi anak-anak keluarga miskin benar-benar hanya sebuah bunga tidur.

2. Anggaran Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dipotong hingga 10% yang membuat 12 orang dari 33 penerima yang sedang melaksanakan studi di luar negeri berpotensi terlantar, serta penerimaan mahasiswa baru lewat beasiswa ini di tahun 2025 ikut ditiadakan.

3. Anggaran Beasiswa ADIK yang juga terpangkas sampai 10%.  Hal tersebut berdampak pada berkurangnya jatah beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa dari wilayah 3T dan Orang Asli Papua (OAP). Turunnya akses pendidikan tinggi bagi masyarakat wilayah yang terdampak pastinya akan menimbulkan gejolak kecemburuan sosial.

    Masyarakat utamanya mahasiswa seolah semakin dibuat geram setelah Menteri Diktisaintek, Satryo Soemantri Brodjonegoro memberi pernyataan jika perguruan tinggi tak lagi bisa menemukan sumber anggaran tambahan yang merupakan dampak efisiensi ini. Kementerian tidak menemukan opsi lain, kecuali terpaksa menaikkan uang kuliah tunggal atau UKT mahasiswa. Sebuah jalan yang salah apabila kewajiban negara diruntuhkan kepada warganya, sedangkan yang berbuat enggan untuk bertanggung jawab. Bagaimana bisa setelah pemangkasan anggaran KIP-K yang mengancam setidaknya lebih dari 600.000 mahasiswa putus kuliah, Mendiktisaintek justru menaikkan UKT mahasiswa? Akan sebanyak apa nantinya mahasiswa yang terancam putus kuliah? Lantas apakah ini yang disebut menyambut generasi Indonesia Emas 2045?

  Setelah banyaknya masyarakat yang berkomentar di berbagai media sosial, Menteri Perekonomian, Ibu Sri Mulyani melalui konferensi pers di DPR pada 14 Februari 2025 seolah memberi klarifikasi yang menyatakan bahwa: 

  Pertama, tidak akan ada pemotongan anggaran beasiswa KIP-K, sehingga penerima tidak akan terancam putus kuliah dan penerimaan mahasiswa baru penerima KIP-K akan tetap berjalan. Kedua, Beasiswa LPDP, Beasiswa Pendidikan Indonesia serta Beasiswa Indonesia Bangkit akan terus berjalan sesuai kontrak. Artinya, tidak akan ada mahasiswa Indonesia di luar negeri yang terlantar. Namun, mengenai kelanjutan ketiga beasiswa tersebut masih belum ada pernyataan lebih lanjut. Ketiga, Penurunan bantuan operasional pendidikan tidak boleh mengakibatkan adanya lonjakan UKT mahasiswa, serta tunjangan kinerja dosen sedang dalam proses pengerjaan.

  Pada pernyataan tersebut, keributan di kalangan masyarakat mulai mereda. Namun, sangat disayangkan, munculnya isu ini terlihat simpang siur dan pernyataan setiap menteri terdengar berbeda. Fakta ini seolah memperlihatkan adanya kecacatan komunikasi antar menteri kepada masyarakat, satu salah bicara, satunya lagi menenangkan pendengarnya. 

   Konon katanya, negara yang baik dapat dilihat dari kualitas pendidikannya, lantas di negeri ini pendidikan hanya sebatas prioritas pendukung. Masa depan penerus bangsa yang katanya menuju generasi emas disepelekan seolah cemas dengan kecerdasan bangsanya. Cukup bangsanya yang sudah terbiasa cemas, jangan petingginya. Tidak salah apabila terbesit dalam pikiran masyarakat, jika tujuan pemerintah bukan “Indonesia Emas” melainkan “Indonesia Cemas.”

 Lebih menggelikan lagi, pembahasan isu-isu pemotongan anggaran terutama dalam sektor pendidikan diklarifikasi setelah amarah masyarakat mencuat. Lantaran apa bedanya dengan drama skandal para selebriti yang berujung pada klarifikasi? Apakah ritme seperti ini akan terus terbawa hingga ke perbincangan masa depan bangsa?

Penulis: Naura Maulika dan Kekeh Dwita
Editor: Ayu Puspita
Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !