Suara di Balik Dinding

0

 Oleh: Iwang Hariyanto

Sumber Gambar: www.freepik.com/EyeEm

Hujan turun deras membasahi jendela kamar rumah kecil milik Hari. Di dalam ruangan sempit itu, ia duduk bersandar di kursi reyot, menatap laptopnya yang masih kosong. Tugas menulis cerpen tentang ekspresi dari lembaga pers mahasiswa harus dikumpulkan besok, tapi pikirannya buntu.

Ia menghela napas panjang, lalu berdiri dan menatap cermin di depannya. “Apa itu ekspresi?” gumamnya. Seketika ia teringat tentang Dessy Rahmawati, gadis yang sering ia lihat di pojok kampus, sibuk mencoret-coret kertasnya dengan warna-warna liar.

Suatu sore, Hari memberanikan diri mendekatinya. “Kenapa warna lukisanmu selalu bertabrakan?” tanyanya heran.

Dessy tertawa kecil, “Karena begitulah perasaanku. Ekspresi itu tidak selalu harus indah dan teratur, bahkan walaupun kadang harus berantakan, tapi jujur.”

Hari mengangguk-angguk sok paham, padahal otaknya masih sibuk mencerna kata-kata Dessy. Ia menatap lukisan Dessy yang, menurutnya, lebih mirip peperangan antara cat warna di atas kanvas. Ada merah yang bertabrakan dengan biru, hijau yang ditabrak kuning, bahkan ada coretan hitam yang seakan-akan dibuat dengan kemarahan seorang mahasiswa yang baru tahu harga buku teks semester ini naik tiga kali lipat.

“Jadi...kalau aku coret-coret tugas makalahku dengan warna-warna ini, dosen bakal ngerti ekspresi batinku?” tanya Hari, mencoba memahami konsep ekspresi bebas ala Dessy.

Dessy menatapnya lama, lalu tersenyum, “Tergantung, kalau dosennya juga seorang seniman, mungkin kamu bisa lulus dengan nilai A+. Kalau nggak, ya siap-siap remedial.”

Hari mendesah panjang, “Berarti nggak bisa buat alasan ini ke Pak Bikin, ya?” Pak Bikin adalah dosen yang terkenal memiliki ekspresi tunggal: wajah datar penuh kebosanan.

Dessy tertawa kecil, “Kayaknya nggak bisa, deh. Tapi kalau kamu butuh inspirasi, bisa coba lihat langit malam ini. Kadang-kadang, inspirasi datang dari sesuatu yang sederhana.”

Hari menatapnya lama, menyadari betapa cantiknya Dessy saat berbicara tentang seni. Ada semacam kilau di matanya yang membuat Hari semakin terpesona. “Kalau gitu... mungkin aku bisa cari inspirasi dengan menatap wajahmu lebih lama?” godanya.

Dessy tersipu. “Gombal amat, sih,” katanya, tapi pipinya merona.

Hari kembali ke kosnya dengan kepala penuh kebingungan—dan hatinya yang mulai terasa hangat. Ia membuka laptopnya dan menatap layar kosong dengan perasaan yang sama kosongnya. Inspirasi masih belum datang. Ia memutuskan untuk merebahkan kepalanya di meja, berharap ada wahyu yang turun dari langit.

Tiba-tiba, ia mendengar suara dari balik dinding kamarnya.

“Woi, siapa pun yang lagi nulis di sebelah, jangan nyontek tugas gue ya!” Suara itu terdengar dari kamar tetangga, Roni, yang terkenal sebagai mahasiswa penuh teori konspirasi.

Hari mendengus. “Gue aja belum nulis satu kata pun, Ron!” balasnya.

“Bagus! Tapi jangan kepikiran buat nulis sesuatu yang lebih keren dari punya gue!”

Hari hanya menggelengkan kepala. Ini contoh lain dari ekspresi, pikirnya. Roni dengan paranoia akademiknya. Apakah itu bisa masuk dalam cerpennya?

Lalu ia ingat kejadian lain. Seperti ketika Doni, teman sekamarnya yang super pemalas, mencoba mengerjakan tugasnya dengan cara menulis ulang artikel Wikipedia dan menggantinya sedikit supaya tidak kelihatan plagiat. Itu juga ekspresi. Ekspresi putus asa mahasiswa yang kepepet deadline.

Tiba-tiba ide itu datang. Ia akan menulis tentang ekspresi yang jujur, tetapi dalam bentuk yang paling nyata: ekspresi mahasiswa dalam menghadapi tugas.

Ia mulai mengetik dengan semangat. Ia menulis tentang Dessy dan lukisan abstraknya yang penuh emosi, tentang Roni dengan teori konspirasinya, tentang Doni dan teknik mengedit Wikipedia yang hampir menjadi seni tersendiri. Ia bahkan menambahkan kisah tentang Pak Bikin dan ekspresi datarnya yang abadi.

Keesokan harinya, cerpennya dipuji oleh editor. “Tulisannya jujur dan penuh nyawa,” ujar sang editor. “Tapi ada satu bagian yang saya sangat suka...tentang mahasiswa yang mencetak ulang Wikipedia dan menyebutnya seni. Itu, saya yakin, adalah karya jenius.”

Hari hanya bisa tertawa. Akhirnya, ia paham. Ekspresi tidak harus indah, tidak harus teratur, yang penting adalah kejujuran di dalamnya. Dan tentu saja, sedikit humor mahasiswa yang kepepet tak ada salahnya.

Sore harinya, saat pulang dari kampus, ia bertemu Dessy di taman. “Tulisanku dapat pujian dari editor,” katanya dengan bangga.

Dessy tersenyum, “Aku nggak kaget. Aku tahu kamu berbakat.”

Hari menggaruk kepalanya, sedikit malu, “Mungkin...karena inspirasiku berasal dari seseorang yang spesial.”

Dessy mengerutkan dahi, “Oh ya? Siapa?”

Hari menatapnya dalam, “Kamu.”

Wajah Dessy kembali merona, “Duh, kok jadi kayak drama, sih?”

Hari tertawa, “Biarin. Kadang, ekspresi itu juga butuh sedikit drama, kan?”

Mereka tertawa bersama, sementara hujan mulai turun lagi, membawa rintik-rintik kebahagiaan yang tak terduga.


Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !