Titian Ilahi, Sayembara Kebaikan

0

 Oleh: Zidan As'ad

Sumber Gambar: www.freepik.com/jcomp

    Terkadang aku berlari. Mengada sesuatu yang tiada. Mengharapkan ekspetasiku berealita. Juga terkadang, aku termenung. Memikirkan hal-hal yang mengapa. Sedikit pejamkan mata, menyaring tanda tanya. Sering juga aku bergulat dengan haluku. Gaji buta jika orang lain kata. Seakan dunia hanya milikku dan imajinasiku. Angan meraja. Lupa tak jadi apa.

    Kecilku kerap bertanya mengenai sang Kholiq. Apakah dia? Siapakah dia? Dia itu apa atau siapa? Mengapa dia? Dimana? Dan ribuan tanda clurit di pikiranku. Ribuan lontaran jawaban menyergapku. Tapi nihil saja. Aku tak dapat kepuasan darinya. Dari semua itu aku tahu akan sebuah kebenaran. Tak akan ada yang puas dengan muluknya kepemilikan. Mungkin orang tuaku lelah tuk jawab soalanku. Ketika promosi ke SMP mereka mengirimku ke penjara suci. Tempat yang di mana penduduknya berjuluk santri. Dan di sinilah ceritaku akan dimulai.

    Seperti hari biasanya. Matahari masih satu dan terbit dari timur. Ribuan bintang masih bisa kunikmati di syahdunya malam hari. Walau masih dengan tanda clurit yang sama. Seketika kejenuhanku melancip. Seluruh area memudar. Hanya meninggalkan warna putih dan kelamaan menghitam.

    Tiba-tiba aku berada disebuah gurun yang luas, kemerah-merahan nan panas. Aku mendengar adzan yang luar biasa. Aku pun mencari sumber suara tersebut. Aku menemukannya, ternyata ada seorang berwajah hitam bergigi putih. Suaranya sangat merdu dibunyikan di bangunan yang paling tinggi di daerah itu. Lalu selepas adzan ia langsung menghampiriku dan berkata:

“Assalamu’alaikum.”

“Wa ‘alaikumussalam.”

“Sholli maghrib.”

    Sontak aku terbangun. Perutku teramat lapar hingga pikiranku bertamasya entah ke mana. Mungkin akibat tadi pagi telat bangun, sehingga segelas air pun tak mampu ku teguk. Seluruh santri sudah mengular berebut takjil. Karena sadar 100% aku langsung berlari ikut menjadi ekor ular. Dan akhirnya, kegelisahan perutku sedikit teratasi.

    Setelah sholat maghrib dan makan. Perutku menjelma. Mungkin karena terlalu banyak sambal yang ku lahap. Sehingga kamar mandi menjadi destinasi wisataku selanjutnya. Di tempat terbitnya inspirasi tersebut —walau bercampur dengan sedikit harta karun, aku mulai memikirkan clurit tadi —dengan sedikit ngeden, sehingga muncullah sebuah narasi :

ketika ku cari arti

seribu dewa kan ku temui

sulit dipahami susah ku mengerti

menunggu sari sebuah prasasti...

    Akhirnya rangkaian tarawihan ku lalui dengan sempurna. Karena malam jum’at dan ngaji malam libur, aku bergegas menuju kamar membanting tubuhku ke kasur yang empuknya agak terkikis sembari berdo’a dan pejamkan mata.

Allahu akbar... Allahu akbar....

    Aku mendengar adzan yang sama. Mimpi tadi sore terulang kembali. Tapi, kali ini ia mendatangiku tidak sendirian. Dia bersama robot kecil berkaki roda.

“Ilaik!” Katanya sebelum debu pasir menyapunya.

    Di kesunyian itu hanya tinggal aku dan si robot kecil. Dia berjalan dengan keempat rodanya dan aku pun ikut dibelakangnya. Lalu dia mulai mengajakku berbincang dengan suara khas robot miliknya.

“Hallo!”suara khas robot menghampiri daun telingaku

“Hai!”

“Apakah kau mengenalku?”

“Seharusnya iya. Tetapi, aku tidak mengenalmu.”

“Namaku Khawarizmi.” tiba-tiba badai besar muncul dari arah belakangku.Lalu dia menghilang tak tau entah. Aku mencarinya sampai...

Kriiing....Kriiing....Kriiing....

    Bel yang paling aku benci terdengar kembali. Aku terbangun dari tidurku dan kembali mengumpulkan seluruh nyawaku. Lalu aku beranjak dari singgasanaku dan segara menuju masjid untuk sholat malam.

    Pagi ini, kulalui dengan baik-baik saja. Setelah pengajian sejak ba’da shubuh sampai jam 11 siang, huh, sangat mengantukkan. Karena qira’ah di masjid sudah terdengar, aku langsung bergegas menuju masjid untuk sholat jum’at dengan badan yang masih segar —karena sehabis mandi dan menghardik bajuku dengan minyak wangi yang semerbak. Setelah sholat jum’at aku pergi keluar pondok sebentar untuk membeli tasbih. Dalam perjalanan pulang, aku melihat kakek yang tua renta sedang berusaha menuju seberang jalan. Tanpa ragu ia pun aku datangi. Aku mengantarnya sampai seberang jalan. Namun sayang, tasbih yang baru saja ku beli terjatuh dan terkena kotoran sapi setelah teraniaya pick up pembawa sapi yang melintas —walau pelan jalannya.

    Aku pun pergi meninggalkan kakek tersebut dengan senyuman manisku. Dua langkah ku berjalan, kakek tersebut menarik tanganku lalu memberikan kepadaku sebuah jam tanpa berbicara sedikit pun. Aku melihat jam itu sejenak dan ketika hendak bilang terima kasih kakek itu menghilang entah ke mana. Aku tidak menghiraukannya lalu aku bergegas kembali ke pondok dan ingin segera tidur —efek pengajian pagi tadi. Lalu aku membanting badan kecilku ke kasur yang sudah terkikis tebalnya.

    Ketika hampir meraih dunia mimpi. Seketika jam tadi berdering. Aku pun mengambilnya dari atas lemari ku. Ku amati jam tersebut dengan ketat. Di sekiling jam itu tidak ada tombol sedikit pun, tali jam yang hitam mengkilap, dan berangka arab. Aku pun sedikit menyekanya lalu jam itu menarikku tanpa ampun dan aku tertelan olehnya.

    Keheningan nyata ada di sini. Di sebuah rumah kaca. Semuanya berkaca. Sehingga memantulkan semestanya. Lalu ku memutar jiwa dan raga ku dan aku melihat dua pintu dari arah yang berbeda. Aku pun berjalan menuju pintu yang berada di depanku. Aku membukanya lalu masuk kedalamnya. Setibanya di dalam dengan beberapa langah, tita tiba pintu tersebut tertutup. Ku melangkah dan mencermati seisinya. Tiba-tiba muncul beberapa angka di beberapa sudut.

    Angka-angka 1-9 bermunculan. Tak lama kemudian, jam dari kakek tua itu menyala dan memuntahkan sebuah kaca transparan yang bertuliskan, “100=... 99=... 1=...”. Juga di bawah itu, “ Cintai yang kau punya dan punya akan kau.”

    Kebingungan melanda ketampananku.  Aku coba berpikir seluas samudra pasifik dan sedalam palung mariana. Lalu aku mengingat kapan datangnya jam ini —karena melihat jam yang ku kenakan dan angka 1 di kaca tersebut— yaitu hari ini jam 1 siang. Aku juga ingat kakek renta yang memberikannya. Flashback ku hanya sampai khutbah jum’at dan yang ku ingat, sang khatib melantunkan dua potong surat tentang keesaan Allah, yaitu pungkasan surat al-Hysr:

هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (٢٤ )

dan awal surat al-Ikhlash

قُلۡ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ‌ ۚ‏(١)اَللّٰهُ الصَّمَدُ‌ ۚ(٢‏)

    Ada beberapa hal yang ku pahami dari kedua penggalan surat tersebut. Seketika mulutku bergumam dengan sendirinya:

apa kau tau siapa Ia

Allah itu pencipta

asmaul husna untuknya

adil dan bijaksana

satu tiada dua

payung si pentasbih dan si pendo’a

    Lalu aku kaitkan gumaman itu dengan pikiranku. Cintai yang kau punya dan punya akan kau mungkin maksud dari Allah sang pencipta juga maha adil yang mencintai seluruh ciptaan-Nya. Lalu 99 asmaul husna. Allah itu juga esa atau yang berarti satu. Lalu dengan tasbih ku yang terjatuh tadi mungkin ada hubungannya.

    Karena ku berpikir angka 99 itu asmaul husna, angka 100 adalah jumlah tasbih jatuh ku, serta satu adalah al-Ahad yaitu esa, dan semua itu ada kaitan nya dengan Allah. Maka aku mengambil angka satu di pojok paling depan, dan ketika aku menyentuhnya tiba-tiba “...duarrr!!!”, memunculkan robot kecil yang ternyata itu adalah Khawarizmi, robot dalam mimpiku tadi. Lalu ia memberiku kaca lagi yang bertuliskan “100-99-1” seraya bekata:

“Ini soalan terakhir, jawabannya ada di hatimu.”

    Ahh, aku muak dengan basa-basi ini. Otak netral ku dikeruhkan pertanyaan yang sangat melingkar. Aku berpikir sekeras apa pun. Kemudian mencobalah sang aku mengaduknya dengan yang tadi. Sejenak aku berpikir lagi mengenai interpretasi dari jawaban lampau ku. Angka 100 seperti kesempurnaan (presentasi yang sempurna yaitu 100%). Ketika kedua tangan ku pinta si kiri menunjukkan  ٨١ (81 dari angka arab), lalu si kanan menunjukkan ١٧ (17 dari angka arab) dan 99 lah jumlah keduanya. Lalu angka satu, sejenak ke merenungkan lagi.

    Beberapa saat aku merenung, aku berpikir bahwasanya angka 1 adalah induk yang melahirkan seluruh angka setelahnya. Apakah itu Allah? Apa berhubungan dengan soalan sebelumnya? Lalu alu mengucapkan yang aslinya bukan jawaban:

“Dunia tanpa pinta akan sirna.”

    Tiba-tiba sebuah lubang muncul tepat di pijakanku, aku dan si robot pun terperosok kedalamnya dan sampailah kita di rumah  kaca yang tadi, tapi sekarang hanya tinggal terbuka satu pintu. Ketika sudah di dalam, sama seperti tadi pintunya tertutup seketika. Aku melihat kanan-kiri, atas-bawah, depan-belakang dan semua hanyalah kaca ungu yang transparan dengan gedung yang menjulang seperti kota yang sangat modern. Tidak ada bangunan yang lebar semuanya tinggi menjunjung langit. Aku terkejut. Alasnya berupa kaca ungu serupa namun memantulkan objeknya.

    Gedung-gedung itu memunculkan tulisan “Pintu tak mungkin terkunci selamanya.” Aku pun membacanya berulang kali. Lalu si Khawarizmi berkata:

“Yang kau lihat semua ini adalah pertanyaan. Jika kau ingin pulang, kau harus menjawabnya.”

    Aku pun menyusuri kota tersebut dengan selalu memperhatikan pertanyaan itu. Dan akhirnya, peristiwa lampauku bermunculan. Aku ingat tiga potong ayat dari ustadzku di pengajian pagi tadi, yaitu surat al-Baqarah ayat 148:

...وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

surat al-Hujurat ayat 13:

...إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ...

dan surat an-Nisa’ ayat 78:

... ۚ أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكْكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

    Sambil duduk di kursi transparan tepi jalan. Khawarizmi memberiku tiga kaca dan sebuah. Kotak mangsi. Dia terdiam saja dan aku juga hening tanpa tanya. Lalu aku menulis ketiga potong ayat tersebut.

“Apa yang kau tulis?”

“Entah, aku hanya mengingat pengajian tadi pagi.” jawabku sembari melanjutkan kata-kata yang memenuhi otakku

“Apa kau paham maksudnya?”

“Ada sedikit yang bisa ku pahami. Kebaikan tak mengenal arah, jika kita berlomba-lomba dalam kebaikan, apa susahnya? Setiap orang itu berbeda harta, tahta, maupun kasta, disela-sela tersebut ada pembatas yang bernama taqwa. Benteng sekeras apa pun tak bisa terhindar dari gerimis, di mana pun kau berlari kau tak kan bisa sembunyi, lalu apa gunanya menghindari ajal pati?”  

    Ketiga lembar kaca tersebut menyatu. Namun dengan ukuran yang sama saja dan goresanku tadi juga tak membekas. Kemudian Khawarizmi berseru sambil agak tertawa.

“Kau temukan jawabannya. Tulis saja di situ, tapi hanya satu kata saja yang bisa kau tulis.”

    Aku disuruh berpikir lagi. Semuanya ku simpulkan tapi ku tak mendapatkan satu kata pun. Terlalu lama berpikir, lalu ku menulis “kebaikan” dan tiba-tiba kaca itu pecah membelah tengah. Sontak aku pun bertanya.

“...a apa yang terjadi?”

“Jawaban mu salah.”

“Terus, ini bagaimana?”

“Kaca yang tadi terbagi dua. Satu digenggamanmu dan satu lagi menjadi serpihan. Kau masih bisa menulis jawaban selagi masih ada kaca yang utuh.”

    Pikiranku semakin mengkritis. Sihir pun tak ku anggap lagi magis. Semua tokoh menjadi antagonis. Suntuk. Untung kakiku masih mampu berjalan. Aku dan Khawarizmi berkeliling lagi di kota ungu tersebut sambil sedikit berbincang dengannya. Lalu tiba-tiba aku mendengar seperti suara si hitam yang adzan kemarin. Tapi kali ini ia tidak adzan, melainkan iqamah. Tetapi aku tidak menemukannya. Lalu muncullah narasi ini :

tak setiap api bisa membakar

tak semua air itu dingin

sangkakala itu pasti

nyata dan hakiki

jangan kau sia-siakan milikmu

    Aku interogasi narasiku dan ku padukan dengan dengungan iqamah tadi. Pikiranku tak habis berhenti. Tiba-tiba terlintas saja dipikiranku jika iqamah adalah panggilan yang menandakan akhir dari panggilan lain —maksudnya adzan. Lalu tanpa ku restui tangan kananku menuliskan “kepastian” di pecahan kaca itu.

    Aku pun kembali ke kamarku. Tak ada sesiapa di situ. Khawarizmi juga tak ada di sebelahku. Jam yang aku kenakan berevolusi menjadi tasbih yang serupa dengan tasbih jatuh ku. Aku pun bergegas ke masjid —berlomba-lomba dalam kebaikan maksudku. Aku ambil al-Qur’an dan mencoba menghayati maknanya. Mulut ku komat-kamit dibasahi wirid dan do’a. Ketika waktu adzan tiba, langsung aku berlari menggapai microphone dan mengumandangkan adzan semerdu-merdunya. Ku tak beranjak dari masjid kecuali ketika hendak mandi, ketika waktu mengaji tiba, tentunya saat waktu sahur dan berbuka —karena kala itu Bulan Ramadhan.

Wallahu a’lam bi ash-Showab

    Seluruh suasana ricuh. Yang awalnya mengantuk jadi bersemangat. Pengajian sampai lingsir wengi memang melelahkan. Seluruh santri pun berpencar mencari kebebasan. Karena tidak ada rencana. Aku membuka lagi kitab kuning yang barusan di kaji. Lalu entah kenapa timbul sebuah narasi:

... ketika ombak mencari mangsa

di situ lah lautan kan ku belah dua

mengabaikan pepatah katakan petaka

temui mutiara, intan, permata

    Malam yang sangat tenang. Aku menyukai suasananya. Tiba-tiba saja Khawarizmi kembali lagi. Kami pun bercakap-cakap.

“Loh, kamu!” responku seketika melihat ia sudah ada di hadapanku

“Iya, aku Khawarizmi.”

“Kamu nyata? Kenapa ada disini?”

“Aku hanya ingin ucapkan perpisahan kepadamu. Tuanku mengutusku untuk menjawab soalan orang-orang yang tulus hatinya. Kamu adalah salah satu di antaranya. Kamu telah bertanya dan semua pertanyaanmu sudah terjawab. Tugasku sudah selesai. Aku harus kembali kepada tuanku. Kakek tua yang kau tolong waktu itu sampai jumpa.”, ucap khawarizmi sebelum menghilang begitu saja.

    Setelah beberapa kejadian tersebut. Aku menjadi pribadi yang lebih baik. Aku selalu berebut garda terdepan masjid. Selalu berusaha menjadi muadzin. Mengaji dan mengkaji. Mencoba mendekati dzat Allah yang maha esa. Menolong teman yang dalam kesusahan juga selalu mengajak temanku mengingat siapa Tuhannya. Ku kerahkan seluruh perbuatanku dalam mengarungi kebaikan selagi masih ada masanya. Tak peduli apa pun yang terjadi.

    Dari seluruh kejadian luar biasa itu, bisa aku pahami. Aku tak perlu sebegitu sering mencari perwujudan Allah. Aku tak perlu membayangkan sebetapa agung dzat-Nya. Namun dengan berbuat kebaikan aku yakin bisa mengetahui-Nya. Dan dengan kebaikan dan keyakinan “nothing is impossible.”


Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !