Tanah yang Dipatahkan Berkali-kali: Palestina dan Luka yang Tak Sembuh

0

Sumber Gambar: www.x.com/fakhrifadzli

Berselimut gulita tidak menjadikan Palestina sebagai malam yang benar-benar tidur. Bahkan malam pun enggan menyentuhnya terlalu lama. Di sana, bulan digantikan nyala api dan gema suara azan bersahut dengan deru pesawat tempur. Langit malam tak lagi menjadi selimut yang menyenangkan, melainkan panggung bagi rudal yang melintas bak bintang jatuh. Bukan untuk mengabulkan harapan, melainkan untuk mengubur hidup-hidup arti kemanusiaan.

Palestina, tanah yang dipatahkan berkali-kali, adalah tempat di mana sejarah berjalan mundur dan masa depan terus-menerus diputus sebelum sempat lahir. Seperti puisi yang dipotong di tengah bait, Palestina adalah kisah yang belum sempat dituntaskan. Ia digantung di langit-langit dunia, antara kemerdekaan yang dijanjikan dan hujan peluru yang datang bergantian. Ia bukan sekadar peta dalam buku geografi, melainkan luka terbuka di wajah bumi.

Berbagai media menyebutnya “konflik”, tetapi apakah pantas disebut konflik jika satu pihak memegang rentetan bazoka dan yang lain memeluk jenazah anaknya? Bagaimana mungkin ada konflik jika satu pihak datang berbekal tank tempur dan yang lain hanya menyimpan doa bertemankan hati yang hancur?

Apa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan yang disusun rapi oleh sejarah. Tertanggal 2 November 1917, dalam dingin dan sunyi ruang perundingan lahirlah Deklarasi Balfour, surat pendek dari pemerintah Inggris yang menjanjikan tanah Palestina kepada orang lain. Hal tersebut membuat Palestina seolah-olah menjadi tanah tak bertuan. Sejak saat itu, tanah perjanjian tersebut diubah dari rumah persinggahan menjadi ladang pelarian.

Tiga dekade kemudian, awak kapal berhasil menguasai dermaga. Peringatan tahunan yang dikenal sebagai hari kehancuran “al-Nakba”, 15 Mei 1948, sehari pasca proklamasi tak tahu diri Israel. Dunia menyebutnya sebagai awal sebuah negara, tapi bagi rakyat Palestina, itu adalah awal dari kehancuran. Ratusan ribu orang menjadi pengungsi di tanah kelahiran mereka sendiri. Rumah-rumah dibakar, desa-desa dihapus dari peta dan nama-nama Arab diganti agar sejarah bisa dilupakan lebih cepat.

Tanah suci Palestina sejak awal adalah ladang judi di mana kekuatan dunia memainkan catur dan rakyat kecil menjadi pion yang bisa dikorbankan. Amerika Serikat dan sekutunya mengucurkan setidaknya miliaran dolar untuk pertahanan Israel setiap tahunnya. Sementara organisasi internasional lainnya, sibuk membuat resolusi terhadap Palestina yang tak pernah ditegakkan.

Setiap ledakan di Gaza tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi juga menghancurkan sisa kepercayaan pada keadilan global. Gencatan senjata yang sempat membawa secercah harapan di awal tahun 2025, resmi pecah pada pertengahan Maret. Tepatnya pada tanggal 18 Maret, Israel melanggar gencatan senjata dan kembali melancarkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza. Terhitung sejak hari itu, terdapat 1.522 warga Palestina meninggal dunia dan 3.834 lainnya terluka. 

Serangan ini mengakhiri gencatan senjata yang selama dua bulan menjadi satu-satunya harapan rapuh warga Gaza untuk menata ulang puing-puing kehidupan. Namun, harapan itu hancur lebih cepat dari dinding-dinding rumah yang belum sempat dibangun kembali. Israel berdalih menyasar pemimpin Hamas, tetapi rudal-rudal yang dijatuhkan justru menggugurkan anak-anak yang sedang tidur dan ibu- ibu yang sedang memasak untuk keluarga yang mereka kira bisa utuh kembali. Di bawah langit yang gelap dan penuh asap, Gaza kembali menjadi neraka yang ditinggalkan dunia.

“Diam adalah mati, menyerah berarti hilang.” Mungkin narasi tersebut yang melandasi warga di Gaza Utara untuk menggelar aksi. Seteru besar yang telah mengorbankan terlalu banyak jiwa dan mencuri makna sebenarnya dari belas kasih dan kemanusiaan, melandasi ratusan raga yang mewakili penderitaan tersebut untuk mencari hak suaranya dengan memprotes kepemimpinan Hamas pada  Selasa, 25 Maret 2025. 

Tergambar jelas di mata mereka sebuah keinginan besar untuk menggapai kebebasan dan kemerdekaan. Lantang suara mereka adalah bentuk paling jujur dari lelah dan letih yang dipendam terlalu dalam. Aksi mogok kerja juga dilakukan masyarakat Yerusalem Timur dan Tepi Barat dengan mengosongkan lapak dagang mereka pada Senin, 7 April 2025. Selain karena Tepi Barat yang sudah menjadi Pelabuhan Israel atau kawasan Yerusalem Timur yang mulai disabotase, genosida berkelanjutan di gaza juga memantik pitam warga Palestina.

Sementara itu, angka kematian terus melonjak. Dilansir dari Tempo, hingga awal April 2025, lebih dari 115.000 warga Palestina mengalami luka sejak Oktober 2023. Jumlah korban tewas mencapai 50.609 jiwa dan kemungkinan bisa bertambah banyak seiring memburuknya kondisi. Infrastruktur sipil dan rumah sakit hancur, air bersih langka, hingga kelaparan menjadi kenyataan sehari-hari. Gaza bukan lagi zona perang, tapi kuburan hidup bagi jutaan orang yang tak pernah memilih dilahirkan di sana.

Di tengah reruntuhan itu, muncul inisiatif yang mencoba menyusun ulang arah. Terselenggaranya KTT Liga Arab menghasilkan pembentukan otoritas Palestina (PA) soal rekonstruksi Gaza yang independen dan transparan. Dari Perdana Menteri Palestina, Mohammad Mustafa, bersama Mesir dan negara-negara Arab lainnya memulai langkah menuju keadilan, bukan sekadar proyek janji-janji internasional. Dunia tak boleh membiarkan Nakba kedua terulang.

Insiden mencekam yang melanda saudara kita di Palestina tidak bisa membaik begitu saja. Namun, keadilan mesti ditegakkan, keadilan pasti tegak, kemanusiaan harus dijunjung tinggi, dan penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Beberapa independen Uni Eropa mulai merapat, yang kini beredar adalah wacana konferensi internasional yang dipimpin Prancis dan Arab Saudi pada Juni mendatang untuk bersama-sama mengakui kemerdekaan Negara Palestina yang seharusnya sudah lama didapatkan. 

"Di langit Palestina, bahkan bintang pun enggan bersinar— takut dianggap senjata."

Namun, Gaza masih menolak untuk mati. Meski ditinggalkan, ia terus bertahan. Meski dihancurkan, ia terus bangkit. Karena di balik setiap reruntuhan, ada tangan yang membangun kembali. Di balik setiap luka, ada nama yang masih disebut dalam doa. Dan mereka yang tinggal didalamnya, masih menyebutnya rumah dan keluarga. Palestina bukan hanya tempat yang diperebutkan, ia adalah simbol keteguhan umat manusia dalam menghadapi ketidakadilan.

Dan kita, para penonton dari kejauhan, perlu bertanya, “Apakah kita sekadar penonton? Ataukah kita bagian dari sistem yang memungkinkan penderitaan itu terus berlangsung?” Sebab doa tanpa kesadaran adalah pelarian dan simpati tanpa aksi adalah kebisuan yang menyakitkan. Apalah arti manusia jika tak bisa melindungi sesamanya?

Palestina bukan cerita usang yang bisa dilupakan. Ia adalah luka yang terus berdetak di nadi sejarah manusia.

Penulis: Zidan As'ad
Editor: Marta Ulin Nuha
Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !